NOTARIS PAILIT

NOTARIS PAILIT

Dalam Pasal 51 ayat (4) Peraturan Jabatan Notaris (PJN) disebutkan bahwa Notaris diberhentikan untuk sementara dari jabatannya dengan alasan kepailitan atau dalam keadaan penundaan pembayaran oleh Menteri Kehakiman atas usul dari badan yang mengucapkan pernyataan kepailitan atau dalam penundaan pembayaran tersebut. Substansi pasal tersebut tidak ada penjelasannya lebih lanjut apakah kepailitan dan dalam keadaan penundaan pembayaran (Surseance van Betaling) tersebut tunduk kepada Failliessement Verordening sebagaimana termuat dalam Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1905 Nomor 348 atau kepada Peraturan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nmor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Udang-undang tentang Kepailitan yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998.

Substansi Pasal 51 ayat (4) Peraturan Jabatan Notaris (PJN) tersebut kemudian diambilalih sebagian sebagaimana tersebut dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a UUJN, bahwa salah satu alasan Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang. Dalam Penjelasan pasal tersebut tidak ditegaskan lebih lanjut isi pasal tersebut, hanya disebutkan cukup jelas. Dan menurut Pasal 12 huruf a UUJN Notaris akan diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri Hukum dan HAM atas usul Majelis Pengawas Pusat (MPP) karena dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penjelasan pasal tersebut tidak ditegaskan lebih lanjut, hanya disebutkan cukup jelas. Sebelum pemberhentian sementara dari jabatannya dilakukan, Notaris diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Pengawas (MP) secara berjenjang (Pasal 9 ayat (2) UUJN).

Aturan hukum mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang tersebut kemudian digantikan oleh Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran. Dalam konsiderans dan penjelasan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 ditegaskan bahwa kehadiran undang-undang tersebut untuk mendukung perkonomian nasional yang memerlukan produk hukum nasional yang menjamin kepastian, ketertiban, penegakkan, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran diharapkan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan perekonomian nasional, serta mengamankan dan mendukung hasil pembangunan nasional. Kemudian juga disebutkan bahwa makin pesatnya perkembangan perekonomian dan perdagangan, makin banyak permasalahan utang-piutang yang timbul dalam masyarakat. Dari konsiderans tersebut dapat kita pahami bahwa undang-undang tersebut sengaja dibuat untuk mengatasi permasalahan utang-piutang yang timbul dalam bidang perekonomian dan perdagangan dan untuk mendukung perekomian nasional. Sehingga istilah yang dipegunakan yaitu Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Ditinjau dari istilah yang dipergunakan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a UUJN, yaitu pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang, apakah implementasi pasal tersebut senantiasa dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran ? Atau apakah betul yang dimaksud dengan Notaris pailit harus tunduk kepada ketentuan mengenai Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran tersebut…? Atau kepada aturan hukum lainnya..?

Menurut ketentuan undang-undang tersebut, bahwa syarat utama untuk dapat dinyatakan pailit adalah bahwa seseorang Debitor mempunyai paling sedikit 2 (dua) Kreditor dan tidak membayar lunas salah satu utangnya yang sudah jatuh tempo. Dengan adanya putusan pailit, maka harta Debitor dapat digunakan untuk membayar kembali seluruh utang Debitor secara adil dan merata serta berimbang.

Kepailitan berbeda dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). PKPU merupakan suatu keadaan Debitor dapat menunda kewajiban pembayaran utangnya kepada para Kreiditor dengan cara mereorganisasi perusahaannya dan mererstruktukrisasi utang-utangnya dengan persetujuan para Kreditor, dengan harapan Debitor dapat melunasi seluruh utangnya.

Dari syarat tersebut di atas, baik Kepailitan maupun PKPU tidak tepat diterapkan kepada Notaris. Pertama, bahwa Notaris adalah jabatan, dan mereka yang memangku Jabatan Notaris disebut sebagai Pejabat Notaris (atau Notaris saja) sebagai Pejabat Publik, sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Debitor adalah orang (atau badan usaha) yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Dan menurut Pasal 1 angka 6 ditegaskan bahwa utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor, dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor. Kedua, bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak berkedudukan sebagai pengusaha, dan dalam menjalankan tugas jabatannya, seorang Notaris tidak pernah membuat perikatan atau perjanjian utang-piutang dengan orang lain (Kreditor). Dengan demikian ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak berlaku untuk Notaris.

Bahwa yang dimaksud Notaris pailit, yaitu jika Notaris dituntut ganti rugi oleh para pihak/penghadap, karena akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris ternyata melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 UUJN, yang mengakibatkan kerugian bagi para pihak/penghadap yang bersangkutan, dan Notaris digugat oleh para pihak/penghadap (penggugat) tersebut, dan Notaris wajib untuk membayar ganti rugi, agar gugatan tersebut tidak sia-sia maka dapat dijatuhkan sitaan (conservatoir beslag) atas benda bergerak dan tidak begerak milik Notaris, jika ternyata putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tersebut mewajibkan kepada Notaris untuk membayar ganti rugi, dan bunga, penggantian biaya, maka harta benda Notaris tersebut setelah dilakukan sitaan, dapat dilelang dan uang lelang tersebut untuk membayar ganti rugi, bunga dan penggantian biaya kepara para penggugat. Jika dengan penyitaan dan lelang tersebut, Notaris tidak mempunyai apa-apa lagi, maka pailit sudah Notaris, dari pailit seperti inilah dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan sementara Notaris dari jabatannya. Jika Notaris mengajukan banding, kasasi dan mengajukan Permohonan Peninjauan (PK) Notaris diberhentikan untuk sementara. Dan jika telah ada putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, atas usul Majelis Pengawas Pusat kepada Menteri Hukum dan HAM, maka Notaris tersebut dapat diberhentikan secara tetap dari jabatannya. Dengan kata lain kepailitan Notaris tidak didasarkan kepada Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran, tapi karena karena Notaris digugat di pengadilan negeri oleh para penghadap, karena akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris yang bersangkutan mengakibatkan kerugian kepada para penghadap.

Dalam menerapkan Pasal 84 UUJN tersebut apakah Notaris akan digugat karena telah melakukan Ingkar Janji (Wanprestatie) atau Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatigedaad) akan tergantung dalam posisi penentuan dam pembuktian (stel – en bewijs positie).

Bahwa pada akta Notaris ada aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materil. Aspek lahiriah yaitu apa yang tampak secara lahir dari akta yang kita lihat. Aspek formal pada akta Notaris yaitu yang berkaitan dengan awal dan akhir akta yang akan menjadi jaminan bahwa yang menghadap adalah mereka yang tersebut dalam akta tersebut. Aspek materil yaitu mengenai substansi akta yang dikehendaki oleh para pihak. Jika para pihak ingin menggugat dengan alasan aspek lahir, maka harus dapat membuktikan bahwa yang seperti itu bukan akta Notaris. Aspek formal akta tersebut tidak sesuai dengan fakta, misalnya, hari dan tanggal menghadap atau salah penyebutan nama penghadap, menjamin kepastian waktu menghadap merupakan tanggungjawab Notaris, jika menurut penghadap bahwa ia tidak menghadap pada waktu sebagaimana tersebut pada awal akta, maka gugatan harus diajukan dengan alasan wanprestasi, dengan alasan ternyata Notaris tidak menjamin aspek formal akta. Sehingga dalam gugatan wanprestasi beban pembuktian ada pada Notaris, dengan menunjukkan atau membuktikan bahwa benar para pihak datang dan menghadap sebagaimana tersebut pada awal akta. Sedangkan jika para penghadap ingin membuktikan dari akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris ternyata merugikan penghadap, maka penghadap dapat menggugat Notaris dengan alasan perbuatan melawan hukum. Maka beban pembuktian ada pada para pihak (penggugat), yaitu harus membuktikan bahwa telah ada fakta-fakta (kenyataan dan keadaan) yang menujukkan bahwa para pihak telah mengalami kerugian yang berawal dari aspek materi akta yang bersangkutan.

Jika Notaris sebagai suatu Jabatan, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 yang mengatur Jabatan Notaris dipailitkan atau dalam penundaan kewajiban pembayaran utang, maka suatu hal yang aneh bin lucu jika ada suatu Jabatan (resmi dalam negara) dipailitkan atau dalam penundaan kewajiban pembayaran utang, berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran. Undang-undang tersebut hanya berlaku untuk para pengusaha. Notaris bukan pengusaha, tapi Notaris adalah Jabatan.—

Desember 17, 2008 at 3:07 am

PENDIRIAN PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL ASING (PMA)

PENDIRIAN PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL ASING (PMA)

Dalam mendirikan suatu Perseroan Terbatas (PT)disyaratkan bahwa seluruh pemegang sahamnya adalah Warga negara Indonesia . Dalam hal terdapat unsur asing baik sebagian ataupun seluruhnya, maka PT tersebut harus berbentu PT. PMA (Penanaman Modal Asing). Suatu PT biasa yang dalam perkembangannya memasukkan pemodal baru yang berstatus asing (baik itu perorangan maupun badan hukum) maka PT tersebut harus merubah statusnya menjadi PT. PMA.

Secara umum, syarat-syarat dan tahapan-tahapan untuk mendirikan PT. PMA adalah sebagai berikut:

A. Pengajuan Ijin Sementara untuk pendirian PT. PMA melalui BPKM

1. Identitas perusahaan yang akan didirikan, yang meliputi:
a. Nama Perusahaan
b. Kota sebagai tempat domisili usaha
c. Jumlah Modal
d. Nama pemegang saham dan presentase modal
e. Susunan Direksi dan Komisaris

2. Pengajuan permohonan tersebut harus mengisi surat permohonan (INVESTMENT APPLICATION UNDER THE FOREIGN INVESTMENT LAW – terlampir) dengan melampirkan dokumen2 sebagai berikut:

1. Pendiri (Pemegang Saham) asing
a. Anggaran dasar Perusahaan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris     berikut seluruh perubahan-perubahannya, pengesahannya ataupun     pelaporan/pemberitahuannya atau
b. Copy passport yang masih berlaku dari pemegang saham individual

2. Dari Perusahaan PMA
a. Anggaran dasar Perusahaan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris     berikut seluruh perubahan-perubahannya, pengesahannya ataupun     pelaporan/pemberitahuannya
b. NPWP Perusahaan

3. Pendiri (Pemegang Saham) Indonesia
a. Anggaran dasar Perusahaan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris     berikut seluruh perubahan-perubahannya, pengesahannya ataupun     pelaporan/pemberitahuannya atau KTP untuk individual
b. NPWP pribadi

4. a. Flowchart proses produksi dan bahan baku (raw materials) yang dibutuhkan         untuk proses industri tersebut
b. Descripsi/explanation untuk proses kelangsungan bisnis

5. Asli surat kuasa (dalam hal pendiri diwakili oleh orang/pihak lain)

6. a. Kelengkapan data lain yang dibutuhkan oleh Departemen terkait (bila ada)         dan dinyatakan dalam “Technical guidance’s book on investment         implementation”.
b. Untuk sector tertentu, contohnya sector pertambangan yang melakukan         kegiatan ekstraksi, sektor energi, perkebunan kelapa sawit dan perikanan,         membutuhkan Surat Rekomendasi dari Departemen teknis terkait.

7. Dalam sektor bisnis yang diperlukan dalam hal kerja sama
a. Perjanjian kerja sama (bisa berupa Joint Venture, Joint Operation, MOU, dll)     antara pengusaha kecil dan pengusaha menengah/besar yang menyebutkan     pihak-pihaknya, system kerjasamanya, hak dan kewajibannya.
b. Surat Pernyataan dari perusahaan kecil yang memenuhi criteria sebagai     Perusahaan Kecil berdasarkan Peraturan No. 9/1995.

Catatan: untuk persyaratan No. 6 poin a dan b akan dikoordinasikan oleh BKPM dengan institusi/Departemen terkait.

Setelah berkas lengkap, ijin baru dapat diproses di BKPM selama jangka waktu + 2 bulan
Ijin BKPM tersebut berlaku sebagaimana halnya Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) pada PT biasa

B. Pembuatan akan Pendirian PT. PMA

1.  -Setelah Ijin dari BKPM keluar, maka dapat mulai untuk proses pendirian PT.      PMA (dengan catatan, nama PT. sudah bisa digunakan/memperoleh      persetujuan Menteri).
2. Salinan Akta akan selesai dalam jangka waktu maksimal 2 minggu kerja sejak      penanda-tanganan akta.
3. Pengurusan Domisili dan NPWP atas nama PT. yang bersangkutan
NPWP yang dibuat untuk PT. PMA harus NPWP khusus PT. PMA
Waktunya + 12 hari kerja.
Catatan: Pada saat ini bisa sekalian mengurus Surat PKP (Pengusaha Kena     Pajak) pada KPP khusus PMA tersebut. dan nantinya akan dilakukan survey/     tinjau lokasi perusahaan.
Waktunya + 12 hari kerja, karena ada survei dari Kantor Pajak setempat lokasi     usaha.

4. Pembukaan rekening atas nama Perseroan dan menyetorkan modal saham     dalam bentuk uang tunai ke kas Perseroan. Bukti setornya diserahkan kepada     Notaris untuk kelengkapan permohonan pengesahan pada Departemen     Kehakiman RI .

5. Pengajuan pengesahan ke Depkeh, Waktunya + 1,5 bulan.

6. Setelah keluar pengesahan dari Departemen Kehakiman, dapat diurus Tanda     Daftar Perusahaan (TDP) dan Wajib Daftar perusahaan (WDP) nya. Waktunya     + 2 minggu.

7.  Setelah semua selesai, tinggal pengurusan Berita Negara nya. Waktunya + 3      bulan

Setelah semua prosedur dilewati, maka harus dilanjutkan dengan jenis usahanya. Apabila merupakan industri, maka harus diurus Ijin Lokasi, Undang-Undang gangguan (HO) nya, Surat Ijin Usaha Industri.

Dalam hal perusahaan tersebut akan memasukkan mesin-mesin pabrik, karena berstatus PT PMA, maka ada subsidi atau keringanan pajak
bea masuk atas mesin-mesin tersebut. Namun untuk itu, PT tersebut harus mengurus Ijin lagi di BKPM,
yaitu: Masterlist dan APIS. Setelah itu, pada saat mesin akan masuk, ybs harus mengurus surat bebas bea
masuknya pada KPP PT PMA,  yang disebut: “SKBPPN” dan dilanjutkan dengan
ijin dari Bea cukai berupa Surat Registrasi Produsen (SRP) atau Surat Registrasi Importir (SRI). Mengenai ijin2 tersebut, akan saya bahas lagi secara tersendiri.

Setelah perusahaan berjalan beberapa waktu, maka akan dilanjutkan dengan pengurusan Ijin Usaha Tetap (IUT) pada BKPM.

******

Desember 17, 2008 at 2:36 am

Contoh Akta Pendirian PT (Berdasarkan UU No. 40/2007)

AKTA PENDIRIAN
PERSEROAN TERBATAS……………………….
NOMOR:…………………………
Pada hari ini,
Hadir dihadapan saya, …………………………………………………………
Notaris di ……………………………………………………………………….
Dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang saya, Notaris kenal dan akan disebut
pada bagian akhir akta ini.————————————————————-
1. Nama lengkap ……………………………………………………………..
Tempat tanggal lahir ………………………………………………………
Warga Negara ……………………………………………………………..
Pekerjaan …………………………………………………………………..
Tempat tinggal di ………………………………………………………….
Nomor Kartu Tanda Penduduk : …………………………………………..
2. Nama lengkap : …………………………………………………………….
Tempat tanggal lahir : ……………………………………………………..
Warga Negara : ……………………………………………………………
Pekerjaan : …………………………………………………………………
Tempat tinggal di …………………………………………………………
Nomor Kartu Tanda Penduduk ……………………………………………
3. Nama Badan Hukum ………………………………………………………
Tempat kedudukan …………………………………………………………
Alamat lengkap ……………………………………………………………
Nomor dan tanggal pengesahan badan hukum ……………………………
-Para penghadap bertindak untuk diri sendiri ………………………………
Dan dalam kedudukannya sebagaimana tersebut di atas dengan ini
menerangkan, bahwa dengan tidak mengurangi izin dari pihak yang
berwenang telah sepakat dan setuju untuk bersama-sama mendirikan suatu
perseroan terbatas dengan anggaran dasar sebagaimana yang termuat dalam
akta ini, ………………………..(untuk selanjutnya cukup disingkat dengan “
Anggaran Dasar”) sebagai berikut : ……………………………….
———————- NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN ——————-
—————————————-PASAL 1 —————————————-
1. Perseroan terbatas ini bernama “ PT ………………………………………
(harus mendapat persetujuan pada saat pemesanan & expired dalam
waktu 60 hari) Nama juga harus sesuai dengan maksud dan tujuan PT.
(selanjutnya cukup disingkat dengan “Perseroan”), berkedudukan di (harus
menyebutkan letak Kota/kabupaten/wilayah secara detil contohnya: Jakarta
selatan)
2. Perseroan dapat membuka kantor cabang atau kantor perwakilan, baik di –
dalam maupun diluar wilayah Republik Indonesia sebagaimana ———–
ditetapkan oleh Direksi.
.————–JANGKA WAKTU BERDIRINYA PERSEROAN ————-
—————————————-PASAL 2—————————————–
Perseroan didirikan untuk jangka waktu tidak terbatas (dapat juga disebut
terbatas, yaitu 75 tahun sejak tanggal pengesahan AD oleh MENKEH)
———-MAKSUD DAN TUJUAN SERTA KEGIATAN USAHA ———-
————————————— PASAL 3—————————————–
1. Maksud dan tujuan Perseroan ialah : ………………………………………
(sesuai dengan KBLU 2005 serta PP No. 77/2007)
2. Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut diatas Perseroan dapat ——-
melaksanakan kegiatan usaha berikut ……………………………………..
a.
b.
c.
—————————————-M O D A L ————————————–
—————————————- PASAL 4—————————————-
1. Modal dasar Perseroan berjumlah Rp. …………(min Rp. 50jt)
terbagi atas ……………………saham, masing-masing saham bernilai
nominal Rp. ………………………………………………………………..
2. Dari modal dasar tersebut telah ditempatkan dan disetor ……… % atau—
sejumlah……… saham dengan nilai nominal seluruhnya sebesar Rp. ……
………………………. oleh para pendiri yang telah mengambil bagian
saham dan rincian serta nilai nominal saham yang disebutkan pada akhir
akta.———————————————————————————–
3. Saham yang masih dalam simpanan akan dikeluarkan oleh perseroan
menurut keperluan modal Perseroan, dengan persetujuan Rapat Umum
Pemegang Saham para pemegang saham yang namanya tercatat dalam —
Daftar Pemegang Saham mempunyai hak terlebih dahulu untuk
mengambil bagian atas saham yang hendak dikeluarkan dalam jangka
waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal penawaran dilakukan dan
masing-masing pemegang saham berhak mengambil bagian seimbang
dengan jumlah saham yang mereka milik (proporsional) baik terhadap
saham yang menjadi bagiannya maupun tersebut sisa saham yang tidak
diambil oleh pemegang saham lainnya.—————————————–
-Jika setelah lewat jangka waktu penawaran 14 (empat belas) hari
tersebut, ternyata masih ada sisa saham yang belum diambil bagian maka
Direksi berhak menawarkan sisa saham tersebut kepada pihak ketiga.—–
————————————— SAHAM ——————————————
—————————————-PASAL 5 —————————————-
1. Semua yang dikeluarkan oleh Perseroan adalah saham atas nama ———-
2. Yang boleh memiliki dan mempergunakan hak atas saham adalah Warga
Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.————————–
3. Bukti pemilikan saham dapat berupa surat saham —————————–
4. Dalam hal Perseroan tidak menerbitkan surat saham, pemilikan saham —
dapat dibuktikan dengan surat keterangan atau catatan yang dikeluarkan –
oleh Perseroan ———————————————————————
5. Jika dikeluarkan surat saham, maka untuk setiap surat saham diberi ——-
sehelai surat saham —————————————————————–
6. Surat kolektif saham dapat dikeluarkan sebagai bukti pemilikan 2 (dua) —
atau lebih saham yang dimiliki oleh seorang pemegang saham ————-
7. Pada surat saham harus dicantumkan sekurang-kurangnya : —————–
a. nama dan alamat pemegang saham; ——————————-
b. nomor surat saham;—————————————————
c. nilai nominal saham;————————————————–
d. tanggal pengeluaran surat saham;———————————–
8. Pada surat kolektif saham sekurangnya harus dicantumkan:—————–
a. nama dan alamat pemegang saham;——————————–
b. nomor surat kolektif saham;—————————————–
c. nomor surat saham dan jumlah saham;—————————-
d. nilai nominal saham;————————————————-
e. tanggal pengeluaran surat kolektif saham harus ditandatangani
oleh (Direksi dan dapat ditambah dengan persetujuan dari
Komisaris Utama atau anggota komisaris lainnya sesuai
dengan keputusan rapat Dewan Komisaris)
———————– PENGGANTI SURAT SAHAM —————————-
————————————— PASAL 6 —————————————–
1. Jika surat saham rusak atau tidak dapat dipakai, atas permintaan mereka –
yang berkepentingan, Direksi mengeluarkan surat saham pengganti, ——
setelah surat saham yang rusak atau tidak dapat dipakai tersebut disebutkembali
kepada Direksi.———————————————————–
2. Surat saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dimusnahkan dan
dibuat berita acara oleh Direksi untuk dilaporkan dalam RUPS ————-
berikutnya.—————————————————————————
3. Jika surat saham hilang, atas permintaan mereka yang berkepentingan, —
Direksi mengeluarkan surat saham pengganti setelah menurut pendapat —
Direksi kehilangan tersebut cukup dibuktikan dan dengan jaminan ——–
yang dipandang perlu oleh Direksi untuk tiap peristiwa yang khusus.——
4. Setelah surat saham pengganti dikeluarkan, surat saham yang dinyatakan
hilang tersebut, tidak berlaku lagi terhadap Perseroan.————————
5. Semua biaya yang berhubungan dengan pengeluaran surat saham ———-
pengganti, ditanggung oleh pemegang saham yang berkepentingan.——–
6. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat —
(4) dan ayat (5) mutatis-mutandis berlaku bagi pengeluaran surat kolektif
saham pengganti.——————————————————————-
———————– PEMINDAHAN HAK ATAS SAHAM ——————-
————————————– PASAL 7—————————————–
1. Pemindahan hak atas saham, harus berdasarkan akta pemindahan hak —–
yang ditanda-tangani oleh yang memindahkan dan yang menerima ——–
pemindahan atau kuasanya yang sah.——————————————–
2. Pemegang saham yang hendak memindahkan hak atas saham, harus ——
menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham lain dengan ——–
menyebutkan harga serta persyaratan penjualan dan memberitahukan —–
kepada direksi secara tertulis tentang penawaran tersebut.——————–
3. Pemindahan hak atas saham harus mendapat persetujuan dari intansi yang
berwenang, jka peraturan perundang-undangan mensyaratkan hal ———
tersebut.——————————————————————————
4. Mulai hari panggilan RUPS sampai dengan hari dilaksanakan RUPS ——
pemindahan hak atas saham tidak diperkenankan.—————————–
5. Apabila karena warisan, perkawinan atau sebab lain saham tidak lagi —–
menjadi milik Warga Negara Indonesia atau , maka dalam jangka waktu
1 (satu) tahun orang atau badan hukum tersebut wajib memindahkan hak –
atas sahamnya kepada waktu warga Negara Indonesia atau badan hukum-
Indonesia, sesuai ketentuan Anggaran Dasar.———————————-
——————–RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM ———————
—————————————PASAL 8 —————————————–
1. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah :-
a. RUPS tahunan;——————————————————–
b. RUPS lainnya, yang dalam Anggaran Dasar ini disebut juga –
RUPS luar biasa.——————————————————
2. Istilah RUPS dalam Anggaran Dasar ini berarti keduanya, yaitu : RUPS —
tahunan dan RUPS luar biasa kecuali dengan tegas ditentukan lain.——–
3. Dalam RUPS tahunan: ————————————————————-
a. Direksi menyampaikan :———————————————-
– laporan tahunan yang telah ditelaah oleh Dewan
Komisaris untuk mendapat persetujuan RUPS;——–
– laporan keuangan untuk mendapat pengesahan rapat
b. Ditetapkan penggunaan laba, jika Perseroan mempunyai saldo
laba yang positif.——————————————————
c. Diputuskan mata acara RUPS lainnya yang telah diajukan —
sebagaimana mestinya dengan memperhatikan ketentukan —-
anggaran dasar.——————————————————–
4. Persetujuan laporan tahunan dan pengesahan laporan keuangan oleh —
RUPS tahunan berarti memberikan pelunasan dan pembebasan tanggung
jawab sepenuhnya kepada angota Direksi dan dewan Komisaris atas ——
pengurusan dan pengawasan yang telah dijalankan selama tahun buku —-
yang lalu, sejauh tidakan tersebut tercemin dalam Laporan Tahunan dan
laporan Keuangan.——————————————————————
5. RUPS luar biasa dapat diselenggarakan sewaktu-waktu berdasarkan —–
kebutuhan untuk membicarakan dan memutuskan mata acara rapat ——–
kecuali mata acara rapat yang dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf
b, dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta ———–
Anggaran Dasar.——————————————————————–
————-TEMPAT, PEMANGGILAN DAN PIMPINAN RUPS ———-
—————————————PASAL 9 —————————————–
1. RUPS diadakan di tempat kedudukan perseroan.——————————
(dapat pula disebutkan di tempat kegiatan usaha Perseroan)
2. RUPS diselenggarakan dengan melakukan pemanggilan terlebih dahulu
kepada para pemegang saham dengan surat tercatat dan/atau dengan iklan
dalam surat kabar.——————————————————————
3. Pemanggilan dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum ——
tanggal RUPS diadakan dengan tidak memperhitungkan tanggal ———–
pemanggilan dan tanggal RUPS diadakan.————————————–
(dapat ditentukan jangka waktu lebih dari 14 hari)
4. RUPS dipimpin oleh Direktur Utama. Selain itu sebagai alternatif lain —-
RUPS dapat dipimpin oleh Komisaris Utama/Presiden Komisaris (pilih —
salah satu).—————————————————————————
5. Jika Direktur Utama tidak ada atau berhalangan karena sebab apapun —–
yang tidak perlu dibuktikan kepada pihak ketiga RUPS dipimpin oleh —-
Wakil Direktur Utama.————————————————————
6. Jika Wajib Direktur utama atau wakil Preseden Direktur tidak ada atau –
berhalangan karena sebab apapun yang tidak perlu dibuktikan kepada —-
pihak ketiga RUPS dipimpin oleh salah seorang Direktur yang ditunjuk —
oleh Direktur Utama atau Wakil Direktur Utama.—————————–
7. Jika semua Direktur tidak hadir atau berhalangan kerena sebab apapun —
yang tidak perlu dibuktikan kepada pihak ketiga RUPS dipimpin oleh —-
salah seorang anggota Dewan Komisaris.—————————————
8. Jika semua anggota Dewan Komisaris tidak hadir atau berhalangan ——-
karena sebab apapun yang tidak perlu dibuktikan kepada pihak ketiga, —-
RUPS dipimpin oleh seorang yang dipilih oleh dan diantara mereka yang
Hadir dalam rapat.——————————————————————
———— KUORUM, HAK SUARA, DAN KEPUTUSAN RUPS ———-
————————————– PASAL 10 —————————————-
1. RUPS dapat dilangsungkan apabila kuorum kehadiran sebagaimana ——-
disyaratkan dalam undang-undang tentang Perseroan Terbatas telah ——-
dipenuhi.—————————————————————————–
2. Pemungutan suara mengenai diri orang dilakukan dengan surat tertutup —
yang tidak ditanda-tangani dan mengenai hal lain secara lisan, kecuali —-
apabila ketua RUPS menentukan lain tanpa ada keberatan dari pemegang
saham yang hadir dalam RUPS.————————————————–
3. Suara blanko atau suara yang tidak sah dianggap tidak ada dan tidak ——
dihitung dalam menentukan jumlah suara yang dikeluarkan dalam RUPS.
4. RUPS dapat mengambil keputusan berdasarkan musyawarah untuk ——-
mufakat atau berdasarkan suara setuju dari jumlah suara yang dikeluarkan
dalam RUPS sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang.————–
—————————————- DIREKSI —————————————
—————————————-PASAL 11 —————————————
1. Perseroan diurus dan dipimpin oleh Direksi yang terdiri dari……………..
anggota direksi. ———————————————————————
(jumlah anggota direksi harus ditetapkan. Apabila lowong, harus di isi)
2. Jika diangkat lebih dari seorang direktur, maka seorang diantaranya dapat
diangkat sebagai ( pilihannya Direktur Utama atau Presiden Direktur)
3. Anggota Direksi diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham, untuk —-
jangka waktu……………………………………… tahun dengan tidak —
mengurangi hak Rapat Umum Pemegang Saham unutuk memberhentikan
nya sewaktu-waktu .—————————————————————-
4. Jika oleh suatu sebab apapun jabatan seorang atau lebih atau semua ——-
anggota Direksi lowongan, maka dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
sejak terjadi lowongan harus di selenggarakan Rapat Umum Pemegang
saham, untuk mengisi lowongan itu dengan memperhatikan ketentukan –
peraturan perundang-undangan dan Anggaran Dasar.————————-
5. Jika oleh suatu sebab apapun semua jabatan anggota Direksi lowong, —–
untuk sementara Perseroan diurus oleh anggota Dewan Komisaris yang –-
ditujuk oleh rapat Dewan Komisaris.——————————————–
6. Anggota direksi berhak mengundurkan diri dari jabatannya dengan ——-
memberikan secara tertulis kepada Perseroan paling kurang 30 ————-
(tiga puluh) hari sebelum tanggal pengunduran dirinya.———————-
7. Jabatan anggota Direksi berakhir, jika : ————————————
a. mengundurkan diri sesuai ketentuan ayat (6);———————
b. tidak lagi memenuhi persyaratan peraturan perundangundangan;—————————————————————
c. meninggal dunia;——————————————————
d. diberhentikan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang
Saham.——————————————————————
——————— TUGAS DAN WEWENANG DIREKSI———————
————————————— PASAL 12—————————————-
1. Direksi berhak mewakili perseroan didalam dan diluar Pengadilan tentang
segala hal dan dalam segala kejadian, mengikat Perseroan dengan pihak –
lain dan pihak lain Perseroan, serta menjalankan segala tindakan, baik —-
yang mengenai kepengurusan maupun kepemilikan, akan tetapi dengan –
pembatasan bahwa untuk :———————————————————
a.meminjam atau meminjamkan uang ats nama Perseroan (tidak termasuk
mengambil uang perseroan di Bank;——————————————-
b. mendirikan suatu usaha atau turut serta pada perusahaan lain baik di —
dalam maupun di luar negeri;————————————————–
c. mengikat perseroan sebagai Penjamin;————————————–
d.membeli atau melepaskan asset Perseroan untuk nilai di bawah 50%
harus dengan persetujuan Dewan Komisaris (boleh juga salah seorang
Komisaris atau RUPS .—————————————————————-
2. a. Direktur Utama berhak dan berwenang bertindak untuk an atas nama –
Direksi serta mewakili Perseroan.———————————————–
b. Dalam hal Direktur Utama tidak hadir atau berhalangan karena sebab —
apapun juga, yang tidak perlu dibuktikan kepada pihak ketiga, maka —-
salah seorang anggota (boleh disebutkan 2 orang anggota) Direksi ——
lainnya berhak dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Direksi—
serta mewakili Perseroan (sesuai kebutuhan perseroan).——————–
———————————-RAPAT DIREKSI ———————————–
—————————————PASAL 13—————————————–
1. Penyelenggaraan Rapat Direksi dapat dilakukan setiap waktu apabila di —
pandang perlu :———————————————————————-
a. oleh seorang atau lebih anggota Direksi;————————————
b. atas permintaan tertulis dari seorang atau lebih anggota Dewan
Komisaris; atau —————————————————————–
c. atas pemintaan tertulis dari 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham
yang bersama-sama mewakili 1/10 (saru per sepuluh) atau lebih dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara (jumlah 1/10 dapat
ditentukan lebih kecil lagi).—————————————————
2. Panggilan Rapat Direksi dilakukan oleh anggota Direksi yang berhak —–
bertindak untuk dan atas nama Direksi menurut ketentuan Pasal 9 ———
Anggaran Dasar ini.—————————————————————-
3. Panggilan Rapat Direksi disampaikan dengan surat tercatat atau dengan —
surat yang disampaikan langsung kepada setiap anggota Direksi dengan–
mendapat tanda terima paling lambat 3 (tiga) hari sebelum rapat ———–
diadakan, dengan tidak memperhitungkan tanggal panggilan dan tanggalrapat.———————————————————————————-
4. Panggilan rapat itu harus mencantumkan acara, tanggal, waktu dan ——–
tempat rapat.————————————————————————-
5. Rapat Direksi diadakan ditempat kedudukan Perseroan atau tempat ——-
kegiatan usaha Perseroan. Apabila semua anggota Direksi hadir atau ——
diwakili, panggilan terlebih dahulu tersebut tidakdisyaratkan Dan Rapat –
Direksi dapat diadakan dimanapun juga dan berhak mengambil keputusan
yang sah dan mengikat.————————————————————
6. Rapat Direksi dipimpin oleh Direktur Utama dalam hal Direktur Utama –
Dalam hal Direktur Utama tidak dapat hadir atau berhalangan yang tidak
Dapat hadir atau berhalangan yang tidak perlu dibuktikan kepada pihak –
Ketiga, Rapat Direksi dipimpin oleh seorang anggota Direksi yang dipilih
Oleh dan dari antara anggota Direksi yang hadir.——————————
7. Seorang anggota Direksi dapat diwakili dal Rapat Direksi hanya oleh —–
anggota Direksi lainnya berdasarkan surat kuasa.——————————
8. Rapat Direksi adalah sah dan berhak mengambil keputusan yang ———-
mengikat apabila lebih dari ½ (satu per dua) dari jumlah anggota Direksihadir
atau diwakili dalam rapat.—————————————————
9. Keputusan Rapat Direksi harus diambil berdasarkan musyawarah untuk —
mufakat. Apabila tidak tercapai maka keputusan diambil dengan ———–
pemungutan suara berdasarkan suara setuju paling sedikit lebih dari ½ —-
(satu per dua) dari jumlah suara yang dikeluarkan dalam rapat.————-
10. Apabila suara yang setuju dan yang tidak setuju berimbang, ketua rapat —
Direksi yang akan menentukan.—————————————————
11. a. Setiap anggota Direksi yang hadir berhak mengeluarkan 1 (satu) ——
suara unutk setiap anggota Direksi lain yang diwakilinya.—————
b. Pemungutan suara mengenai diri orang dilakukan dengan surat suara
tertutup tanpa tanda tangan sedangkan pemungutan suara mengenai –
hal-hal lain dilakukan secara lisan kecuali ketua menentukan lain —–
tanpa ada keberatan dari yang hadir.—————————————–
c. Suara blanko dan suara yang tidak sah dianggap tidak dikeluarkan —-
secara sah dan dianggap tidak ada serta tidak dihitung dalam ———–
menentukan jumlah suara yang dikeluarkan.——————————-
12. Direksi dapat juga mengambil keputusan yang sah tanpa mengadakan —
Rapat Direksi, dengan ketentuan semua anggota Direksi telah diberitahu
secara tertulis dan semua anggota Direksi memberikan persetujuan
mengenai usul yang diajukan secara tertulis dengan menandatangani
persetujuan tersebut.—————————————————————-
Keputusan yang diambil dengan sah dalam Rapat Direksi.——————
————————-D E W A N K O M I S A R I S —————————-
————————————— PASAL 14 —————————————
1. Dewan Komisaris terdiri dari seorang atau lebih anggota Dewan ——–
Komisaris, apabila diangkat lebih dari seorang anggota Dewan Komisaris
maka seorang diantaranya dapat diangkat sebagai Komisaris Utama.——-
2. Yang boleh diangkat sebagai anggota dewan Komisaris hanya warga —
Negara Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditentukan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.———————————————-
3. Anggota Dewan Komisaris diangkat oleh rapat umum Pemegang Saham
untuk jangka waktu ……. Tahun dengan tidak mengurangi hak Rapat —-
Umum Pemegang saham untuk memberitahukan sewaktu-waktu.———-
4. Jika oleh suatu sebab jabatan anggota Dewan Komisaris lowong, maka—
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah terjadinya lowongan, —–
harus diselenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham untuk mengisi —-
lowongan itu dengan memperhatikan ketentuan ayat 2 pasal ini.———–
5. Seorang anggota Dewan Komisaris berhak mengundurkan diri dari ——-
jabatannaya dengan memberitahukan secara tertulis mengenai maksud —
tersebut kepada Perseroan sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh)hari ——–
sebelum tanggal pengunduran dirinya.——————————————-
6. Jabatan anggota Dewan Komisaris berakhir apabila :————————-
a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia;————————————
b. mengundurkan diri sesuai denagn ketentuan ayat 5 ;———————-
c. tidak lagi memenuhi persyaratan perundang-undang yang berlaku;
d. meninggal dunia;—————————————————————
e. diberhentikan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham.
————TUGAS DAN WEWENANG DEWAN KOMISARIS ————-
—————————————-PASAL 15 —————————————
1. Dewan komisaris setiap waktu dalam jam kerja kantor Perseroan berhak
memasuki bangunan dan halaman atau tempat lain yang dipergunakan –
atau yang dikuasai oleh Perseroandan berhak memeriksa semua ———–
pembukuan, surat dan alat bukti lainya, memerikasa dan mencocokkan —
keadaan uang kas dan lain-lain serta berhak untuk menetahui segala ——
tindakan yang telah dijalankan oleh Direksi.————————————
2. Direksi dan setiap anggota Direksi wajib untuk memberikan penjelasan—
tentang segala hal yang dinyatakan oleh Dewan Komisaris.——————
3. Apabila seluruh anggota Direksi diberhentikan sementara dan Perseroan –
tidak mempunyai seorangpun anggota Direksi maka untuk sementara —–
Dewan Komisaris diwajibkan untuk mengurus Perseroan. Dalam hal ——
Demikian Dewan Komisaris berhak untuk memberikan kekuasaan ——–
Sementara kepada seorang atau lebih diantara anggota Dewan Komisaris
atas tanggungan Dewan Komisaris.———————————————-
4. Dalam hal hanya ada seorang anggota Dewan komisaris, segala tugas —–
dan wewenang yang diberikan kepada Komisaris Utama atau anggota —-
Dewan Komisaris dalam anggaran dasar ini berlaku pula baginya.———
————————–RAPAT DEWAN KOMISARIS ————————–
—————————————-PASAL 16 —————————————
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 mutatis mutandis berlaku
bagi rapat Dewan Komisaris.———————————————————-
—RENCANA KERJA, TAHUN BUKU DAN LAPORAN TAHUNAN—-
—————————————- PASAL 17 ————————————–
a. Direksi menyampaikan rencana kerja yang memuat juga anggaran ——–
tahunan Perseroan kepada Dewan Komisaris untuk mendapat persetujuan,
sebelum tahun buku dimulai.——————————————————
b. Rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan —
paling lambat …… hari sebelum dimulainya tahun buku yang akan ——-
datang.——————————————————————————–
c. tahun buku Perseroan berjalan dari tanggal 1 (satu) Januari sampai ——–
dengan tanggal 31 (tiga puluh satu) Desember. Pada akhir bulan ———–
Desember tiap tahun, buku Perseroan ditutup. Untuk pertama kalinya
buku Perseroan dimulai pada tanggal dari akta pendirian ini dan ditutup—
Pada tanggal 31 (tiga puluh satu) Desember ……………………………
d. Direksi menyusun laporan tahunan dan menyediakannya di kantor
Perseroan untuk dapat diperiksa oleh para pemegang saham terhitung
sejak tanggal panggilan RUPS tahunan.—————————————–
———–PENGGUNAAN LABA DAN PEMBAGIAN DIVIDEN ———-
————————————-PASAL 18 ——————————————
1. Laba bersih Perseroan dalam suatu tahun buku seperti tercantum dalam —
neraca dan perhitungan laba rugi yang disahkan oleh RUPS tahunan dan
merupakan saldo laba yang positif, dibagi menurut cara penggunaannya –
yang ditentukan oleh RUPS tersebut.——————————————–
2. Jika perhitungan laba rugi pada suatu tahun buku menunjukkan kerugian –
yang tidak dapt ditutup dengan dana cadangan, maka kerugian itu akan —
tetap dicatat dan dimasukkan dalam perhitungan laba rugi dan dalam —–
tahun buku selanjutnya perseroan dianggap tidak mendapat laba selama –
kerugian yang tercatat dan dimasukkan dalam perhitungan laba rugi itu –
itu belum sama sekali tertutup.—————————————————
————————-PENGGUNAAN CADANGAN —————————-
—————————————-PASAL 19 —————————————
1. Penyisihan laba bersih untuk cadangan dilakukan sampai 20% (dua puluh
persen) dari jumlah modal ditempatkan dan disetor hanya boleh
dipergunakan untuk menutup kerugian yang tidak dipenuhi oleh ———–
cadangan lain. ———————————————————————–
2. Jika jumlah cadangan telah melebihi jumlah 20% (dua puluh persen),
RUPS dapat memutuskan agar jumlah kelebihannya digunakan bagi
keperluan Perseroan.—————————————————————-
3. Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum dipergunakan
untuk menutup kerugian dan kelebihan cadangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) yang penggunaannya belum ditentukan oleh RUPS harus
dikelola oleh Direksi dengan cara yang tepat menurut pertimbangan
Direksi, setelah memperoleh persetujuan Dewan Komisaris dan
memperhatikan peraturan perundang-undangan agar memperoleh laba.—-
——————————–KETENTUAN PENUTUP ————————–
——————————————PASAL 20 ————————————-
-Segala sesuatu yang tidak atau belum cukup diatur dalam Anggaran Dasar
ini, akan diputus dalam RUPS.——————————————————–
Akhrinya, para penghadap bertindak dalam kedudukannya sebagaimana
tersebut di atas menerangkan bahwa :————————————————
1. Untuk pertama kalinya telah diambil bagian dan disetor penuh dengan
uang tunai melalui kas Perseroan sejumlah ……… saham atau
seluruhnya dengan nilai nominal Rp……… yaitu oleh para pendiri :
– Tuan ………..
tersebut, sejumlah ……. saham
dengan nilai nominal seluruhnya sebesar Rp………
– PT………..
tersebut sejumlah …….. saham
dengan nilai nominal seluruhnya sebesar Rp……..
– sehingga seluruhnya berjumlah …… saham
– dengan nilai nominal seluruhnya sebesar Rp……..
2. Menyimpang dari ketentuan dalam Pasal 8 dan Pasal 11 Anggaran
Dasar ini mengenai tata cara pengangkatan anggota Direksi dan
Komisaris, telah diangkat sebagai …….
– Direktur Utama : tuan
lahir di
pada tanggal
swasta, Warga Negara Indonesia, bertempat
tinggal di
.
pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor
.
– Direktur : tuan
lahir di
pada tanggal
swasta,WargaNegaraIndonesia, bertempat
tinggal di
.
pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor
.
– Komisaris Utama : tuan
lahir di
pada tanggal
swasta, Warga Negara Indonesia, bertempat
tinggal di
.
pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor
.
– Komisaris : tuan
lahir di
pada tanggal
swasta, Warga Negara Indonesia, bertempat
tinggal di
.
pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor
.
Pengangkatan anggota Direksi dan Dewan Komisaris tersebut telah
diterima oleh masing-masing yang bersangkutan.——————————
-Akta ini diselesaikan pada pukul WIB (
Waktu Indonesia bagian barat).—————————-
-Para penghadap saya, Notaris kenal.————————————————
—————————— DEMIKIANLAH AKTA INI ————————
-Dibuat dan diresmikan di ………………………. pada hari, tanggal dan jam
sebagaimana disebutkan pada bagian awal akta ini dengan dihadiri oleh :——
1.
2.
keduanya pegawai Kantor Notaris dan bertempat tinggal berturut-turut di
………….. dan di ……………..sebagai saksi-saksi.——————————-
-Segera setelah saya, Notaris bacakan akta ini kepada Para penghadap dan
saksi-saksi, maka akta ini ditandatangani oleh para penghadap, saksi-saksi
dan saya, Notaris.————————————————————————
-Dibuat
*****

Desember 17, 2008 at 2:22 am

Contoh Akta Pendirian CV

PERSEROAN KOMANDITER
CV.__________________
NOMOR : .-
-Pada hari ini, , tanggal ,pukul
WIB ( Waktu Indonesia Bagian Barat).—————–
-Berhadapan dengan saya, , Sarjana
Hukum, Magister Kenotariatan, Notaris di ,Notaris
dan akan disebut pada bagian akhir akta ini:————————————–
1.
2.
-Para penghadap menerangkan dan menyatakan bahwa para penghadap
telah setuju dan mufakat untuk mendirikan Perseroan Komanditer dengan
anggaran dasar sebagai berikut:—————————————————–
———————————- Pasal 1. ———————————————
-Perseroan ini bernama : “ CV……………………………”——————–
berkedudukan di ………………………,dan dapat mempunyai kantor
cabang dan atau Perwakilan di tempat-tempat lain, atas permufakatan ——
para persero.—————————————————————————
———————————— Pasal 2. ——————————————-
-Maksud dan tujuan Perseroan ini ialah:——————————————-
a. –Melakukan usaha jasa di bidang konsultasi mengenai system
informasi, manajemen, akuntansi dan keuangan serta pekerjaanpekerjaan
yang berhubungan dengan jasa computer, teknik serta
umum lainnya, kecuali bidang hukum dan pajak, dimana
kegiatannya meliputi:——————————————————–
Melayani pembuatan system informasi dan manajemen, serta——–
System administrasi perusahaan dan/atau instasi pemerintah baik
pusat maupun daerah, baik secara manual maupun komputerisasi;—
-Melayani pemasangan implementasi perangkat keras dan
perangkat lunak computer;————————————————-
-Melakukan kegiatan di bidang pendidikan, pelatihan, riset dan
menyelenggarakan seminar serta pekerjaan pekerjaan–pekerjaan
yang berhubungan dengan kegiatan peningkatan sumber daya
manusia lainnya.————————————————————-
b. –Menjalankan usaha perdagangan eksport-import,———————
interinsuler dan local, terutama memperdagangkan komputer dan
perihaperal, obat-obatan dan farmasi, alat-alat kedokteran,
toilletries, kerajinan tangan (handicraft), garment, makanan dan
minuman ringan, barang-barang elektronika, elektrikal, mekanikal,-
telekomunikasi, alat-alat tulis dan kantor, barang-barang cetakan
dan material percetakan, furniture, bahan-bahan bangunan, baik
untuk perhitungan sendiri maupun secara komisi atau secara
amanat; ———————————————————————–
-bertindak sebagai leveransir, supplier, komisioner, grosser,
distributor dan keagenan/perwakilan baik dari perusahaanperusahaan
dalam maupun luar negeri.———————————–
c. Menjalankan usaha di bidang percetakan penerbitan buku
(publishing), penjilitan dan, pembuatan karton box, pengepakan,
dan cartonage (packaging).————————————————-
d. Menjalankan usaha dibidang industri, antara lain, industri kayu,
makan, minim, teksil, kertas, pakaian jadi, furniture, peralatan tulis
dan kantor, alat-alat rumah tangga, serta barang-barang kerajinan
tangan.————————————————————————-
e. Menjalankan usaha-usaha pemborong/kontraktor untuk semua
pekerjaan banguna, antara lain gedung-gedung, rumah-rumah (Real
Estate), jalanan, jembatan, konstruksi bangunan besi dan kayu,
pengairan pekerjaan-pekerjaan penggalian tanah dan pengurangan,
instalasi air, listrik gas dan telepon serta semua pekerjaan yang
berhubungan dengan itu.—————————————————-
f. Menjalankan usaha di bidang jasa boga dan/atau catering, jasa
teknik dan biro jasa umum, antara lain pengurusan pembuatan Surat
Ijin Mengemudi (SIM), STNK, cleaning service, pemeliharaan
gedung-gedung, dan kantor-kantor beserta peralatannya,
perbengkelan, pemeliharaan air conditioning (A.C.), pemeliharaan
pompa-pompa air, pemeliharaan listrik dan lain sebagainya yang
berhubungan dengan itu kecuali bidang Hukum dan pajak.———–
g. Menjalankan usaha pengangkutan darat dan menerima serta
mengangkut orang dan atau barang dan bertindak sebagai agen dari
perusahaan-perusahaan lainnya.——————————————-
h. Berusaha dalam bidang industri dalam arti kata yang seluasluasnya.————————————————————————
-dan selanjutnya melakukan segala tindakan dan kegiatan yang
berhubungan dengan maksud dan tujuan tersebut, semuanya dalam arti
kata yang seluas-luasnya, dengan megindahkan Undang-undang dan
Peraturan-peraturan yang berlaku.———————————————
———————————– Pasal 3. —————————————-
-Perseroan ini dimulai pada hari dan tanggal akta ini, dan didirikan
untuk Waktu yang tidak ditentukan lamanya.——————————–
-Masing-masing persero sewaktu-waktu berhak untuk mengundurkan
diri dari perseroan, asal saja persero yang bersangkutan memberikan
maksudnya itu kepada pesero lainnya dua bulan sebelumnya.————-
Dalam hal demikian, maka bagian dari pesero yang mengundurkan diri
itu dalam perseroan dikeluarkan dan di bayarkan secra tunai kepadanya
dalam 3 (tiga) bulan, terhitung dari dan menurut keadaan pada hari dan
tanggal ke luarnya/pengunduran diri pesero tersebut, sedang untuk
selanjutnya perseroan diteruskan oleh para pesero lainnya.—————-
————————————— Pasal 4. —————————————-
-Modal dasar perseroan ini tidak ditentukan besarnya, dan sewaktu-waktu
akan ternyata dan dapat dilihat dalam buku perseroan; demikian juga
bagian dari masing-masing pesero dalam modal perseroan.——————–
-Tiap-tiap penyetoran dalam modal oleh para pesero dilakukan atas
persetujuan mereka bersama dan dimasukkan sebagai kredit dalam bukubuku
perseroan, dan kepada pesero yang berkenaan diberikan suatu tanda
pembayaran yang sah dan ditanda-tangani oleh semua pesero.—————-
-Selain modal, pesero ……………………………tersebut juga memberikan
tenaga, kecakapan dan keahlian serta Waktunya kepada perseroan.———–
————————————— Pasal 5. —————————————-
-Pesero ………………………tersebut adalah persero pengurus yang
bertanggung-jawab penuh dengan gelaran DIREKTUR. ——————
Pesero ………………………………………. adalah persero komanditer yang
bertanggung-jawab hanya sampai jumlah pemasukan modalnya dalam
perseroan.——————————————————————————
—————————————- Pasal 6. —————————————
-Direktur mewakili perseroan di dalam dan di luar Pengadilan, dan
karenanya berhak menanda-tangani untuk atas nama perseroan, mengikat
perseroan terhadap pihak lain, atau pihak lain pada persero, serta
menjalankan semua hak dan kekuasaan, baik mengenai tindakan
pengurusan maupun mengenai tidakan pemilikan, akan tetapi dengan
pembatasan bahwa untuk:———————————————————-
a. meminjam atau meminjamkan uang atas nama perseroan (dalam hal ini
tidak termasuk pengambilan uang dari kredit yang telah dibuka);————-
b. menjual atau melepaskan hak atas barang-barang milik perseroan;——–
c. membeli asset perseroan yang nilainya lebih dari Rp.25.000.000,–(dua
puluh lima juta rupiah);———————————————————–
d. mengikat perseroan sebagai penanggung/avalist;————————–
haruslah mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari dan atau
bertindak bersama-sam dengan persero komanditer.————————-
Persero Komanditer atau kuasanya yang sah berhak, asal saja pada waktu
dan dari kerja untuk memeriksa buku-buku dan barang-barang perseroan
serta memasuki tempat yang dimiliki dan dikuasai oleh perseroan, dan
persero pengurus berkewajiban untuk memberi keterangan tentang segala
sesuatu yang ditanyakan oleh persero komanditer.——————————-
-Pesero pengurus berhak pula mengangkat seorang atau lebih kuasa,
dengan memberikan kepadanya kekuasaan-kekuasaan yang dianggapnya
perlu; demikian pula mencabut kekuasaan-kekuasaan yang dianggapnya
perlu; demikian pula mencabut kekuasaan-kekuasaan tersebut.—————-
————————————— Pasal 7. —————————————-
-Pesero pengurus mendapat gaji dan jaminan-jaminan lainnya yang
jumlahnya ditetapkan oleh para pesero bersama.—————————–
Gaji dan jaminan-jaminan lainya tersebut akan dimasukkan dalam bukubuku
perseroan sebagai pengeluaran/biaya perseroan.—————————
—————————————- Pasal 8. —————————————
-Buku-buku perseroan ditutup pada akhir bulan Desember tiap-tiap tahun;
untuk pertama kalinya pada tanggal……………..——————–
Selambat-lambatnya pada akhir bulan Maret tahun berikutnya, untuk
pertama kalinya selambat-lambatnya pada akhir bulan Maret dua ribu
delapan (2008), para pesero Pengurus harus membuat neraca perhitungan
laba rugi, dan untuk sahnya harus ditanda-tangani oleh semua pesero.——-
-Pembagian keuntungan harus segera dilakukan setelah neraca dan
perhitungan laba-rugi tersebut disahkan, sedangkan jika terdapat kerugian,
maka kerugian tersebut segera ditutup dengan cara mengurangi atau
menambah modal perseroan.——————————————————–
————————————– Pasal 9. —————————————–
-Keuntungan – keuntungan yang diperoleh atau kerugian-kerugian yang
diderita oleh perseroan dibagi antara atau dipikul oleh para pesero menurut
perbandingan penyetoran masing-masing pesero dalam modal perseroan;
akan tetapi dalam hal perseroan menderita rugi, maka pesero komanditer
hanya turut bertanggung-jawab sampai jumlah pemasukan/penyetorannya
dalam modal perseroan.————————————————————–
——————————————- Pasal 10. ———————————–
– Jika salah seorang pesero meninggal dunia, maka perseroan tidak bubar,
akan tetapi diteruskan oleh para pesero lainnya dengan ahli waris pesero
yang meninggal dunia tersebut, atau dengan mereka yang mendapat hak
darinya.———————————————————————————
-Para ahli waris tersebut diwajibkan mengangkat seorang diantara mereka
sendiri, atau mereka menunjuk orang lain sebagai wakil mereka dalam
semua urusan perseroan.————————————————————-
—————————————— Pasal 11. ————————————
-Jikalau seorang pesero jatuh pailit atau ditaruh dibawah pengampuan
(curatele), maka pesero tersebut dianggap telah keluar satu hari sebelum
ditetapkan keputusan yang berkenaan terhadap pesero dimaksud diatas, dan
usaha – usaha perseroan diteruskan oleh para pesero lainnya; sedangkan
bagian/hak dari pesero tersebut akan dikeluarkan/diserahkan/dibayarkan
dalam waktu satu tahun dengan tunai kepada wakilnya yang sah menurut
hukum, terhitung dari dan menurut keadaan pada hari dianggap keluarnya
pesero tersebut.————————————————————————
—————————————— Pasal 12.————————————-
-Masing-masing pesero dilarang untuk memindahkan bagiannya baik
sebagaimana maupun seluruhnya kepada orang lain, kecuali jikalau
mengenai hal tersebut telah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari para
pesero lainnya; demikian pula halnya untuk menerima orang lain sebagai
pesero baru.—Yang dapat diterima atau yang berhak untuk menjalankan
hak-hak sebagai pesero dalam perseroan ini hanyalah Warga Negara
Indonesia.——————————————————————————
——————————————- Pasal 13.————————————
-Menguasai persoalan-persoalan yang timbul kemudian dan tidak atau tidak
cukup diatur dalam akta ini, akan diputuskan oleh para pesero secara
musyawarah untuk mufakat.———————————————————
——————————————- Pasal 14.————————————
-Mengenai akta ini dan segala akibat serta pelaksanaannya, para penghadap
memiliki domisili di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri di Jakarta.—-
-Para penghadap menyatakan dengan ini menjalin akan kebenaran identitas
para penghadap sesuai tanda pengenal yang disampaikan kepada saya,
Notaris dan bertanggung jawab sepenuhnya atas hal tersebut dan
selanjutnya para penghadap juga menyatakan telah mengerti dan
memahami isi akta ini.—————————————————————
-Akta ini diselesaikan pada pukul ……………WIB (…………..Waktu
Indonesia bagian Barat).———————————————————-
Para penghadap dikenal oleh saya, Notaris.—————————————
——————————— DEMIKIAN AKTA INI ————————-
-Dibuat dan diselesaikan di …………….,pada hari, tanggal dan jam
tersebut pada bagian awal akta ini, dengan di hadiri oleh:———————-
1.
2.
-keduanya pegawai Kantor Notaris, sebagai saksi-saksi.——————-
-Setelah saya, Notaris membacakan akta ini kepada para penghadap dan
para saksi, maka segera para penghadap, para saksi dan saya, Notaris
menanda-tangani akta ini.——————————————————–
Dibuat

Desember 17, 2008 at 2:20 am

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA AGRARIA / KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 16 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN HAK MILIK MENJADI HAK GUNA BANGUNAN ATAU HAK PAKAI DAN HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK PAKAI MENTERI NEGARA AGRARIA / KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA AGRARIA / KEPALA BADAN PERTANAHAN
NASIONAL NOMOR 16 TAHUN 1997
TENTANG PERUBAHAN HAK MILIK MENJADI HAK GUNA BANGUNAN ATAU HAK
PAKAI DAN HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK PAKAI
MENTERI NEGARA AGRARIA / KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

Menimbang:
a. Bahwa sehubungan dengan sifat dan isi berbagai jenis hak atas tanah menurut
ketentuan Undang-undang Pokok Agraria, maka untuk memenuhhi keperluan
tertentu pemegang hak seringkali memerlukan perubahan hak atas tanah yang
sudah dipunyai menjadi hak atas tanah jenis lainnya.
b. Bahwa pada dasarnya perubahan hak atas tanah menjadi hak atas tanah semula
yang diikuti dengan penetapan pemberian hak atas tanah yang baru;
c. Bahwa untuk perubahan atas tanah tertentu, yaitu perubahan Hak Milik menjadi
Hak Guna atau Hak Pakai, dan perubahan Hak Guna Bangunan menjadi Hak
Pakai, kedua proses tersebut perlu disederhanakan;
d. Bahwa berhubung dengan hal-hal diatas perlu menetapkan perubahan Hak
Milik menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dengan Keputusan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional;
Mengingat:
a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2034);
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha , Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah ( Lembaran Negara
Tahun 1996 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3643 );
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 124 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3696);
d. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1779 tentang Pendaftaran Tanah.
M E M U T U S K A N
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN
NASIONAL TENTANG PERUBAHAN HAK MILIK MENJADI HAK GUNA BANGUNAN
ATAU HAK PAKAI DAN HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK PAKAI.
Pasal 1
Dengan keputusan ini :
a. Hak Milik kepunayaan perseorangan warganegara Indonesia atau yang
dimenangkan oleh Badan Hukum Indonesia melalui pelelangan umum , atas
permohonan pemegang hak atau pihak yang memperolehnya atau kuasanya
diubah hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang jangka waktunya masingmasing
30 (tiga puluh) tahun dan 25 (duapuluh lima) tahun;
b. Hak Guna Bangunan atas tanah Negara atau atas tanah Hak Pengelolaan
kepunyaan perseorangan warga negara Indonesia atau Badan Hukum
Indonesia, atas permohonan pemegang hak atau kuasanya diubah menjadi Hak
Pakai yang jangka waktunya 25 (duapuluh lima) tahun.
c. Untuk perubahan Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a pemohon tidak dikenakan
kewajiban membayar uang pemasukan kepada Negara.
d. Untuk perubahan Hak Guna Bangunan menjadi HAK Pakai sebagai mana
dimaksud ayat (1) huruf b pemohon wajib membayar uang pemasukan kepada
Negara dengan memperhitungkan uang pemasukan yang sudah dibayar
kepada Negara untuk memperoleh Hak Guna Bangunan yang bersangkutan.
Pasal 2
Permohonan pendaftaran perubahan Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunan atau
Hak Pakai, dan perubahan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan
setempat dengan disertai :
a. Sertifikat Hak Milik atau Hak Guna Bangunan yang dimohon perubahan haknya,
atau bukti pemilikan tanah yang bersangkutan dalam hal Hak Milik yang belum
terdaftar;
b. Kutipan Risalah Lelang yang dikeluarkan oleh pejabat lelang apabila hak yang
bersangkutan dimenangkan oleh badan hukum dalam suatu pelelangan umum;
c. Surat persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan, apabila hak atas tanah
tersebut dibebani Hak Tanggungan,
d. Bukti identitas pemohon.
e. Dalam hal Hak Milik yang dimohon perubahan haknya belum terdaftar, maka
permohonan pendaftaran perubahan hak dilakukan bersamaan dengan
permohonan pendaftaran hak milik tersebut dan penyelesaian pendaftaran
perubahan haknya dilaksanakan sesudah Hak Milik itu dudaftar sesuai
ketentuan yang berlaku.
f. Dalam hal Hak Milik yang dimohon perubahan haknya dimenangkan oleh Badan
Hukum melalui pelelangan umum, maka permohonan pendaftaran perubahan
hak milik tersebut diajukan oleh badan hukum yang bersangkutan
bersamaandengan permohonan pendaftaran peralihan haknya dan kedua
permohonan tersebut diselesaikan sekaligus dengan mendaftar perubahan hak
tersebut terlebih dahulu dan kemudian mendaftar peralihan haknya, dengan
ketentuan bahwa untuk Hak Milik yang belum terdaftar ketentuan pada ayat (2)
juga dilaksanakan.
Pasal 3
a. Atas permohonan pendaftaran perubahan hak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) Kepala Kantor Pertanahan mengeluarkan perintah setor
pungutan sesuai ketentuan yang berlaku.
b. Setelah diterima tanda bukti setor pungutan sebagai mana dimaksud ayat (1)
Kepala Kantor Pertanahan mendaftar perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak
Pakai , atau perubahan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai sesuai ketentuan
di dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanhan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dengan ketentuan bahwa
permohonan pendaftaran perubahan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) berlaku sebagai keterangan melepaskan hak atas tanah semula sebagai
mana dimaksud Pasal 131 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997.
Pasal 4
Permohonan perubahan Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, dan
permohonan perubahan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai yang pada saat
berlakunya Keputusan ini ada di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya, Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Propinsi, dan Badan Pertanhan Nasional diproses
menurut ketentuan dalam keputusan ini.
Pasal 5
Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 9 Desember 1997
MENTERI NEGARA AGRARIA/
KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
t.t.d.
IR. SONI HARSONO

Desember 15, 2008 at 10:06 am

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 48 TAHUN 1994

TENTANG

PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

:

a.

bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan merupakan Objek Pajak Penghasilan;

b.

bahwa orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan wajib melunasi Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut;

c.

bahwa untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut dan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, dipandang perlu mengatur pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan Peraturan Pemerintah;

Mengingat

:

1.

Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;

2.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);

3.

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);

4.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);

5.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3569);

6.

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2171);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan

:

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN.

Pasal 1

(1)

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan.

(2)

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) adalah :

a.

penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah;

b.

penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus;

c.

penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan persyaratan khusus.

Pasal 2

(1)

Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a, wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.

(2)

Pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila kepadanya dibuktikan oleh orang pribadi atau badan dimaksud bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak yang bersangkutan dengan menunjukkan
aslinya.

(3)

Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang wajib menyampaikan laporan bulanan mengenai penerbitan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Direktur Jenderal Pajak.

(4)

Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat, Pejabat Lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3

(1)

Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf b dipungut Pajak Penghasilan oleh bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar-menukar.

(2)

Bendaharawan atau pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyetor Pajak Penghasilan yang telah dipungut ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro
sebelum melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang berhak menerimanya atau sebelum tukar-menukar dilaksanakan.

(3)

Penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama orang pribadi atau badan yang menerima pembayaran atau yang melakukan tukar-menukar.

(4)

Bendaharawan atau pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan laporan mengenai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 4

(1)

Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

(2)

Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan akta pengalihan hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994, kecuali :

a.

dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan;

b.

dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Stb. 1908 Nomor 189 dengan segala perubahannya) adalah nilai menurut risalah lelang tersebut.

(3)

Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan
tahun yang bersangkutan, atau dalam hal Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dimaksud belum terbit, adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang tahun pajak sebelumnya.

(4)

Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, maka Nilai Jual Obyek Pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Obyek Pajak menurut surat keterangan yang diterbitkan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang wilayah wewenangnya meliputi tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan .

Pasal 5

Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah :

a.

Orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a dan huruf b yang jumlah brutonya kurang dari
Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;

b.

Orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf c;

c.

Orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan hibah yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;

d.

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan warisan;

Pasal 6

Ketentuan tentang pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh Wajib Pajak badan sehubungan dengan usaha pokoknya di bidang penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.

Pasal 7

Badan Pertanahan Nasional hanya mengeluarkan surat keputusan pemberian hak, pengakuan hak dan peralihan hak atas tanah, apabila permohonannya dilengkapi dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal
3 ayat (3), kecuali permohonan sehubungan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.

Pasal 8

Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), bagi orang pribadi bersifat final dan bagi Wajib Pajak badan merupakan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan
yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Pasal 9

Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) atau ayat (3), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 10

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, baik bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, dengan memperhatikan pertimbangan Menteri Kehakiman dan/atau Menteri Dalam Negeri.

Pasal 11

Atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang terjadi sebelum tanggal 1 Januari 1995 yang belum dibuatkan aktanya oleh pejabat yang berwenang diatur sebagai berikut :

a.

Apabila penghasilan atas pengalihan hak tersebut telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang bersangkutan dan Pajak
Penghasilannya telah dilunasi, maka pelunasan Pajak Penghasilan tersebut menggantikan kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);

b.

Apabila atas penghasilan dari pengalihan hak tersebut Pajak Penghasilannya telah dilunasi sampai dengan tanggal 31 Desember 1994 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah atau Tanah dan Bangunan, maka pelunasan Pajak Penghasilan tersebut menggantikan kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.

Pasal 12

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 13

Peraturan pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
1 Januari 1995.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di

:

Jakarta

Pada tanggal

:

27 Desember 1994

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

S O E H A R T O


P E N J E L A S A N

A T A S

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 48 TAHUN 1994

TENTANG

PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

UMUM

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983,
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari penjualan atau pengalihan harta merupakan Objek Pajak Penghasilan. Apabila orang pribadi atau badan menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, maka penghasilan tersebut termasuk dalam pengertian penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-undang tersebut.

Dalam rangka meningkatkan kepatuhan orang pribadi atau badan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, dan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, maka dengan Peraturan Pemerintah perlu diatur cara yang lebih berdaya guna yaitu dengan mengaitkan pemenuhan kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dimaksud dengan penandatanganan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau
risalah lelang, atau mengaitkannya dengan pembayaran yang dilakukan oleh
bendaharawan atau pejabat negara.

Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur bahwa Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat, Pejabat Lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku hanya boleh menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah
lelang setelah kepadanya dibuktikan bahwa Pajak Penghasilan yang terutang telah dibayar. Dalam hal orang pribadi atau badan menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, termasuk ganti rugi karena pelepasan hak atau penyerahan hak atau cara lain kepada pemerintah, maka pemenuhan kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan dilakukan melalui pemungutan oleh bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran tersebut.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Ayat (1)

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, baik dalam kegiatan usahanya maupun diluar usahanya, wajib dibayar atau dipungut Pajak Penghasilannya pada saat terjadinya transaksi tersebut.

Ayat (2)

Pengalihan hak dalam ayat ini adalah semua pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dapat dilakukan dengan cara :

a.

penjualan, tukar-menukar termasuk ruitslag, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati oleh kedua belah pihak yang bukan pemerintah.

b.

penjualan, tukar-menukar termasuk ruitslag, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus misalnya penjualan atau pelepasan hak tanah kepada pemerintah untuk Proyek Rumah Sakit Umum atau untuk Proyek kampus universitas.

c.

penjualan, tukar-menukar termasuk ruitslag, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus, yaitu pembebasan tanah oleh pemerintah untuk proyek-proyek jalan umum, saluran embuangan air, waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara,
fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan bencana lainnya, dan fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Pasal 2

Ayat (1)

Pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan kepada pihak lain selain pemerintah, wajib dilakukan sendiri oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. Sedangkan dalam hal penjualan lelang, Pajak Penghasilan yang terutang disetorkan oleh Pejabat Lelang atas nama orang pribadi atau badan yang hartanya dilelang.

Ayat (2)

Untuk meningkatkan kepatuhan orang pribadi atau badan dalam memenuhi kewajiban pajaknya, maka pejabat yang berwenang hanya diperbolehkan untuk menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut apabila kepadanya dibuktikan bahwa
orang pribadi atau badan yang bersangkutan telah membayar sendiri Pajak Penghasilan yang terutang.
Pembuktian dilakukan oleh orang pribadi atau badan tersebut dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak serta dengan menunjukkan asli Surat Setoran Pajak dimaksud. Ketentuan mengenai pembuktian tersebut tidak berlaku atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 3

Ayat (1)

Pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, dilakukan melalui pemungutan Pajak Penghasilan oleh bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau yang menyetujui tukar-menukar. Pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan tersebut dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.

Ayat (2) dan Ayat (3)

Pemungutan Pajak Penghasilan tersebut bukan merupakan pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. Penyetoran Pajak Penghasilan yang telah dipungut dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama orang pribadi atau badan yang menerima pembayaran atau yang melakukan tukar-menukar, dan bukan atas nama bendaharawan atau pejabat pemungut.
Penyetoran Pajak Penghasilan melalui bank persepsi maupun Kantor Pos dan Giro dilakukan sebelum pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dilaksanakan.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)

Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan dan Pajak Penghasilan yang wajib dipungut oleh bendaharawan atau pejabat yang berwenang sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
adalah 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan tersebut.

Ayat (2)

Besarnya nilai pengalihan sebagai dasar perhitungan besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan, atau dipungut oleh bendaharawan atau pejabat yang berwenang, adalah nilai yang tertinggi antara nilai menurut akta dengan nilai menurut Nilai Jual Objek Pajak untuk
penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan atas tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan dalam tahun pajak terjadinya pengalihan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memperoleh nilai yang paling mendekati nilai yang sebenarnya.
Dalam hal pengalihan kepada pemerintah, maka besarnya nilai pengalihan adalah berdasarkan nilai yang ditetapkan oleh pemerintah.
Dalam hal pengalihan hak berdasarkan lelang, maka besarnya pengalihan adalah berdasarkan nilai menurut risalah lelang.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar, maka untuk memperoleh besarnya Nilai Jual Objek Pajak, orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan wajib meminta surat keterangan mengenai besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas tanah dan/atau bangunan untuk tahun pajak yang bersangkutan kepada
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang wilayah wewenangnya meliputi tanah dan/atau bangunan tersebut.

Pasal 5

Pada dasarnya semua pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), namun untuk keadilan diberikan pengecualian dari pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan.

huruf a

Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dari pengalihan kepada pihak lain atau kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus, sepanjang jumlah pembayaran brutonya kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
Lokasi pembangunan sarana kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus dapat dibangun dibanyak tempat, misalnya untuk pembangunan sekolah, rumah sakit atau kantor pemerintah;

huruf b

Orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah dengan pembayaran ganti rugi yang akan digunakan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus, yaitu jalan umum, saluran pembuangan air, waduk, bendungan, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara dan fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan bencana lainnya, serta fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Lokasi pembangunan sarana kepentingan umum tersebut memerlukan persyaratan khusus misalnya untuk pelabuhan laut diperlukan tanah tertentu untuk memenuhi persyaratan sebagai pelabuhan seperti kedalaman laut, arus laut, pendangkalan dan lain sebagainya;

huruf c

Apabila orang pribadi atau badan melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan laba yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau organisasi sejenis lainnya,
atau pengusaha kecil termasuk koperasi, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d angka 4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, maka keuntungan karena pengalihan tersebut bukan merupakan Objek Pajak dan tidak terutang Pajak Penghasilan. Termasuk dalam pengertian hibah adalah wakaf;

huruf d

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, bukan merupakan Objek Pajak;

Pasal 6

Bagi Wajib Pajak badan yang usaha pokoknya melakukan penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, pembayaran Pajak Penghasilannya adalah sebagai berikut :

a.

Untuk penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan usaha pokoknya, ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan;

b.

Untuk penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang bukan dalam rangka usaha pokoknya, misalnya penjualan bangunan kantor yang digunakan sendiri oleh perusahaan real estate, berlaku ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Bagi orang pribadi, pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) bersifat final, dan tidak digabungkan dengan penghasilan lainnya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Bagi Wajib Pajak badan, penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan digabungkan dengan penghasilan lainnya dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) atau Pasal 6 diperlakukan sebagai pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan terjadi sebelum tanggal 1 Januari 1995, namun akta penjualan atau pengalihannya baru dibuat oleh pejabat yang berwenang pada atau setelah 1 Januari 1995, maka atas transaksi demikian diatur sebagai berikut :

a.

Apabila penghasilan tersebut tealh dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang bersangkutan dan Pajak Penghasilannya telah dilunasi, maka pelunasan Pajak Penghasilan tersebut menggantikan kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

Contoh :

a.

A pada tanggal 20 November 1993 menjual sebidang tanah kepada PT BUN Jakarta seharga Rp 200.000.000,00 dan aktanya baru dibuat oleh pejabat yang berwenang pada atau setelah 1 Januari 1995. Apabila penghasilan atas penjualan tanah
tersebut telah dilaporkan oleh A dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan 1993 dan Pajak Penghasilannya telah dilunasi, maka saat pembuatan akta cukup dilampiri dengan keterangan dari Kantor Pelayanan Pajak tempat A
terdaftar yang menyatakan bahwa Pajak Penghasilan atas penjualan tanah tersebut telah dilunasi. Sebaliknya apabila A belum melaporkan penghasilan dari penjualan tanah tersebut dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 1993, maka Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini harus dibayar sebelum akta tersebut ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.

b.

Apabila atas pengalihan tersebut Pajak Penghasilannya telah dilunasi sampai dengan tanggal 31 Desember 1994 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan Atas Penghasilan
Dari Pengalihan Hak Atas Tanah atau Tanah dan Bangunan, maka pelunasan Pajak Penghasilan tersebut menggantikan kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

Contoh:

pada tanggal 10 Desember 1994 menjual sebidang tanah dan bangunan kepada C dimuka Notaris dengan akta perjanjian pengikatan untuk penjualan tanah dan bangunan seharga Rp 200.000.000,00 yang Pajak Penghasilannya telah dilunasi
tanggal 10 Desember 1994 sebesar 3% x Rp 200.000.000,00 = Rp 6.000.000,00. Karena kewajiban Pajak Penghasilan Pasal 25 atas penjualan tanah dan bangunan B telah dilunasi sebelum 1 Januari 1995, walaupun akta penjualan tanah dan bangunan B kepada C baru dibuat setelah 1 Januari 1995, maka pembayaran tersebut menggantikan kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan menurut ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tahun 1994. Dalam hal B belum membayar Pajak Penghasilan Pasal 25 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1994, maka diperlakukan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3580

Desember 14, 2008 at 2:35 pm

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 48 TAHUN 1994
TENTANG
PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1994, penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau
bangunan merupakan Objek Pajak Penghasilan;
b. bahwa orang pribadi atau badan yang menerima atau
memperoleh penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau
bangunan wajib melunasi Pajak Penghasilan atas
penghasilan tersebut;
c. bahwa untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam
memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan atas penghasilan
tersebut dan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Undangundang
Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994,
dipandang perlu mengatur pembayaran Pajak Penghasilan
atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor
104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
3. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 49 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9
Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor
10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
5. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3312), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran
Negara Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3569);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 28,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2171);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBAYARAN
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS
TANAH DAN/ATAU BANGUNAN.
Pasal 1
(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan.
(2) Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana
dimaksud dalam ayat(1) adalah :
a. penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak,
pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau
cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain
pemerintah;
b. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan
hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah
guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan
untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan
persyaratan khusus;
c. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan
hak, atau cara lain kepada pemerintah guna
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan persyaratan khusus.
Pasal 2
(1) Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2)
huruf a, wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan yang
terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro
sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau
risalah lelang atau pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
(2) Pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta,
keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang
atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila
kepadanya dibuktikan oleh orang pribadi atau badan
dimaksud bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat
Setoran Pajak yang bersangkutan dengan menunjukkan
aslinya.
(3) Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan,
perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang wajib
menyampaikan laporan bulanan mengenai penerbitan akta,
keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang
atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Direktur
Jenderal Pajak.
(4) Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah
Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat, Pejabat
Lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
(1) Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2)
huruf b dipungut Pajak Penghasilan oleh bendaharawan
atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang
menyetujui tukar-menukar.
(2) Bendaharawan atau pejabat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib menyetor Pajak Penghasilan yang telah
dipungut ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro
sebelum melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau
badan yang berhak menerimanya atau sebelum tukar-menukar
dilaksanakan.
(3) Penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas
nama orang pribadi atau badan yang menerima pembayaran
atau yang melakukan tukar-menukar.
(4) Bendaharawan atau pejabat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib menyampaikan laporan mengenai pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 4
(1) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah sebesar 5%
(lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan.
(2) Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan
akta pengalihan hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah
dan/atau bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994, kecuali :
a. dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah adalah
nilai berdasarkan keputusan pejabat yang
bersangkutan;
b. dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan
lelang (Stb. 1908 Nomor 189 dengan segala
perubahannya) adalah nilai menurut risalah lelang
tersebut.
(3) Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan
tahun yang bersangkutan, atau dalam hal Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang dimaksud belum terbit,
adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang tahun pajak sebelumnya.
(4) Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar
pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, maka
Nilai Jual Obyek Pajak yang dipakai adalah Nilai Jual
Obyek Pajak menurut surat keterangan yang diterbitkan
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang
wilayah wewenangnya meliputi tanah dan/atau bangunan
yang bersangkutan .
Pasal 5
Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah :
a. Orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan
dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a dan
huruf b yang jumlah brutonya kurang dari
Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b. Orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan
dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada
pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2)
huruf c;
c. Orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan tanah
dan/atau bangunan sehubungan dengan hibah yang diberikan
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan kepada badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan;
d. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sehubungan
dengan warisan;
Pasal 6
Ketentuan tentang pembayaran Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari transaksi penjualan atau pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan oleh Wajib Pajak badan
sehubungan dengan usaha pokoknya di bidang penjualan atau
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, ditetapkan
lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
Pasal 7
Badan Pertanahan Nasional hanya mengeluarkan surat
keputusan pemberian hak, pengakuan hak dan peralihan hak
atas tanah, apabila permohonannya dilengkapi dengan Surat
Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
dan Pasal
3 ayat (3), kecuali permohonan sehubungan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 8
Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1), bagi orang pribadi bersifat final dan
bagi Wajib Pajak badan merupakan pembayaran Pajak
Penghasilan Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan Pajak
Penghasilan
yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Pasal 9
Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan,
perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) atau ayat (3), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan
Pemerintah ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, baik
bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang
tugasnya masing-masing, dengan memperhatikan pertimbangan
Menteri Kehakiman dan/atau Menteri Dalam Negeri.
Pasal 11
Atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang
terjadi sebelum tanggal 1 Januari 1995 yang belum dibuatkan
aktanya oleh pejabat yang berwenang diatur sebagai berikut
:
a. Apabila penghasilan atas pengalihan hak tersebut telah
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun yang bersangkutan dan Pajak
Penghasilannya telah dilunasi, maka pelunasan Pajak
Penghasilan tersebut menggantikan kewajiban pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
b. Apabila atas penghasilan dari pengalihan hak tersebut
Pajak Penghasilannya telah dilunasi sampai dengan
tanggal 31 Desember 1994 berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan Dalam Tahun Berjalan Atas Penghasilan Dari
Pengalihan Hak Atas Tanah atau Tanah dan Bangunan, maka
pelunasan Pajak Penghasilan tersebut menggantikan
kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan.
Pasal 12
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan Dalam Tahun Berjalan atas Penghasilan Dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Pasal 13
Peraturan pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
1 Januari 1995.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di
: Jakarta
Pada tanggal :
27 Desember
1994
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
S O E H A R T O
P E N J E L A S A N
A T A S
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 48 TAHUN 1994
TENTANG
PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
UMUM
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983,
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1994, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari penjualan atau
pengalihan harta merupakan Objek Pajak Penghasilan. Apabila orang
pribadi atau badan menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan, maka penghasilan tersebut termasuk
dalam pengertian penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf d Undang-undang tersebut.
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan orang pribadi atau badan dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya, dan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, maka dengan Peraturan
Pemerintah perlu diatur cara yang lebih berdaya guna yaitu dengan
mengaitkan pemenuhan kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dimaksud
dengan penandatanganan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau
risalah lelang, atau mengaitkannya dengan pembayaran yang dilakukan
oleh
bendaharawan atau pejabat negara.
Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur bahwa Notaris, Pejabat Pembuat
Akta Tanah, Camat, Pejabat Lelang, atau pejabat lain yang diberi
wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku hanya
boleh menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau
risalah
lelang setelah kepadanya dibuktikan bahwa Pajak Penghasilan yang
terutang telah dibayar. Dalam hal orang pribadi atau badan menerima
atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan kepada pemerintah, termasuk ganti rugi karena pelepasan hak
atau penyerahan hak atau cara lain kepada pemerintah, maka pemenuhan
kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan dilakukan melalui pemungutan
oleh bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran tersebut.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Ayat (1)
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi
atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, baik dalam kegiatan usahanya maupun diluar
usahanya, wajib dibayar atau dipungut Pajak Penghasilannya
pada saat terjadinya transaksi tersebut.
Ayat (2)
Pengalihan hak dalam ayat ini adalah semua pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan yang dapat dilakukan dengan
cara :
a. penjualan, tukar-menukar termasuk ruitslag, perjanjian
pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang,
hibah atau cara lain yang disepakati oleh kedua belah
pihak yang bukan pemerintah.
b. penjualan, tukar-menukar termasuk ruitslag, pelepasan
hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati
dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk
pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan
persyaratan khusus misalnya penjualan atau pelepasan hak
tanah kepada pemerintah untuk Proyek Rumah Sakit Umum
atau untuk Proyek kampus universitas.
c. penjualan, tukar-menukar termasuk ruitslag, pelepasan
hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah
guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan persyaratan khusus, yaitu pembebasan tanah
oleh pemerintah untuk proyek-proyek jalan umum, saluran
embuangan air, waduk, bendungan dan bangunan pengairan
lainnya, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara,
fasilitas keselamatan umum seperti tanggul
penanggulangan bahaya banjir, lahar dan bencana lainnya,
dan fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Pasal 2
Ayat (1)
Pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan kepada pihak
lain selain pemerintah, wajib dilakukan sendiri oleh orang
pribadi atau badan yang bersangkutan sebelum akta,
keputusan, perjanjian, kesepakatan, ditandatangani oleh
pejabat yang berwenang. Sedangkan dalam hal penjualan
lelang, Pajak Penghasilan yang terutang disetorkan oleh
Pejabat Lelang atas nama orang pribadi atau badan yang
hartanya dilelang.
Ayat (2)
Untuk meningkatkan kepatuhan orang pribadi atau badan dalam
memenuhi kewajiban pajaknya, maka pejabat yang berwenang
hanya diperbolehkan untuk menandatangani akta, keputusan,
perjanjian, kesepakatan, atau risalah lelang atas
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut
apabila kepadanya dibuktikan bahwa
orang pribadi atau badan yang bersangkutan telah membayar
sendiri Pajak Penghasilan yang terutang.
Pembuktian dilakukan oleh orang pribadi atau badan tersebut
dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak serta
dengan menunjukkan asli Surat Setoran Pajak dimaksud.
Ketentuan mengenai pembuktian tersebut tidak berlaku atas
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 5.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada
pemerintah, dilakukan melalui pemungutan Pajak Penghasilan
oleh bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran
atau yang menyetujui tukar-menukar. Pemenuhan kewajiban
Pajak Penghasilan tersebut dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Ayat (2) dan Ayat (3)
Pemungutan Pajak Penghasilan tersebut bukan merupakan
pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. Penyetoran Pajak
Penghasilan yang telah dipungut dilakukan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama orang pribadi
atau badan yang menerima pembayaran atau yang melakukan
tukar-menukar, dan bukan atas nama bendaharawan atau
pejabat pemungut.
Penyetoran Pajak Penghasilan melalui bank persepsi maupun
Kantor Pos dan Giro dilakukan sebelum pembayaran kepada
orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh
penghasilan dilaksanakan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dibayar sendiri oleh
orang pribadi atau badan dan Pajak Penghasilan yang wajib
dipungut oleh bendaharawan atau pejabat yang berwenang
sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan
adalah 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan
tersebut.
Ayat (2)
Besarnya nilai pengalihan sebagai dasar perhitungan
besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dibayar sendiri oleh
orang pribadi atau badan, atau dipungut oleh bendaharawan
atau pejabat yang berwenang, adalah nilai yang tertinggi
antara nilai menurut akta dengan nilai menurut Nilai Jual
Objek Pajak untuk
penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan atas tanah dan/atau
bangunan yang bersangkutan dalam tahun pajak terjadinya
pengalihan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memperoleh
nilai yang paling mendekati nilai yang sebenarnya.
Dalam hal pengalihan kepada pemerintah, maka besarnya nilai
pengalihan adalah berdasarkan nilai yang ditetapkan oleh
pemerintah.
Dalam hal pengalihan hak berdasarkan lelang, maka besarnya
pengalihan adalah berdasarkan nilai menurut risalah lelang.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar,
maka untuk memperoleh besarnya Nilai Jual Objek Pajak,
orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan wajib
meminta surat keterangan mengenai besarnya Nilai Jual Objek
Pajak atas tanah dan/atau bangunan untuk tahun pajak yang
bersangkutan kepada
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang wilayah
wewenangnya meliputi tanah dan/atau bangunan tersebut.
Pasal 5
Pada dasarnya semua pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dikenakan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1), namun untuk keadilan diberikan pengecualian dari
pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan.
huruf a
Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi dari pengalihan kepada pihak lain
atau kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus,
sepanjang jumlah pembayaran brutonya kurang dari Rp
60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
Lokasi pembangunan sarana kepentingan umum yang tidak
memerlukan persyaratan khusus dapat dibangun dibanyak
tempat, misalnya untuk pembangunan sekolah, rumah sakit
atau kantor pemerintah;
huruf b
Orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan
dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada
pemerintah dengan pembayaran ganti rugi yang akan digunakan
untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus,
yaitu jalan umum, saluran pembuangan air, waduk, bendungan,
saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara dan fasilitas
keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya
banjir, lahar dan bencana lainnya, serta fasilitas Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia.
Lokasi pembangunan sarana kepentingan umum tersebut
memerlukan persyaratan khusus misalnya untuk pelabuhan laut
diperlukan tanah tertentu untuk memenuhi persyaratan
sebagai pelabuhan seperti kedalaman laut, arus laut,
pendangkalan dan lain sebagainya;
huruf c
Apabila orang pribadi atau badan melakukan pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan laba yang
diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, dan kepada badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau
organisasi sejenis lainnya,
atau pengusaha kecil termasuk koperasi, yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d angka 4) Undang-undang Nomor
7 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994,
maka keuntungan karena pengalihan tersebut bukan merupakan
Objek Pajak dan tidak terutang Pajak Penghasilan. Termasuk
dalam pengertian hibah adalah wakaf;
huruf d
Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sehubungan
dengan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf b Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, bukan merupakan Objek
Pajak;
Pasal 6
Bagi Wajib Pajak badan yang usaha pokoknya melakukan penjualan
atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, pembayaran
Pajak Penghasilannya adalah sebagai berikut :
a. Untuk penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan sehubungan dengan usaha pokoknya, ditetapkan lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan;
b. Untuk penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan yang bukan dalam rangka usaha pokoknya, misalnya
penjualan bangunan kantor yang digunakan sendiri oleh
perusahaan real estate, berlaku ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Bagi orang pribadi, pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) bersifat final, dan tidak
digabungkan dengan penghasilan lainnya dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan. Bagi Wajib Pajak badan, penghasilan
dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan digabungkan
dengan penghasilan lainnya dan dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Pembayaran Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) atau
Pasal 6 diperlakukan sebagai pembayaran angsuran Pajak
Penghasilan Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan Pajak
Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan terjadi
sebelum tanggal 1 Januari 1995, namun akta penjualan atau
pengalihannya baru dibuat oleh pejabat yang berwenang pada atau
setelah 1 Januari 1995, maka atas transaksi demikian diatur
sebagai berikut :
a. Apabila penghasilan tersebut tealh dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang
bersangkutan dan Pajak Penghasilannya telah dilunasi, maka
pelunasan Pajak Penghasilan tersebut menggantikan kewajiban
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Contoh :
a. A pada tanggal 20 November 1993 menjual sebidang tanah
kepada PT BUN Jakarta seharga Rp 200.000.000,00 dan aktanya
baru dibuat oleh pejabat yang berwenang pada atau setelah 1
Januari 1995. Apabila penghasilan atas penjualan tanah
tersebut telah dilaporkan oleh A dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan 1993 dan Pajak Penghasilannya
telah dilunasi, maka saat pembuatan akta cukup dilampiri
dengan keterangan dari Kantor Pelayanan Pajak tempat A
terdaftar yang menyatakan bahwa Pajak Penghasilan atas
penjualan tanah tersebut telah dilunasi. Sebaliknya apabila
A belum melaporkan penghasilan dari penjualan tanah
tersebut dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 1993, maka Pajak Penghasilan yang
terutang berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini
harus dibayar sebelum akta tersebut ditandatangani oleh
pejabat yang berwenang.
b. Apabila atas pengalihan tersebut Pajak Penghasilannya telah
dilunasi sampai dengan tanggal 31 Desember 1994 berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 1994 tentang Pembayaran
Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan Atas Penghasilan
Dari Pengalihan Hak Atas Tanah atau Tanah dan Bangunan,
maka pelunasan Pajak Penghasilan tersebut menggantikan
kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1).
Contoh:
pada tanggal 10 Desember 1994 menjual sebidang tanah dan
bangunan kepada C dimuka Notaris dengan akta perjanjian
pengikatan untuk penjualan tanah dan bangunan seharga Rp
200.000.000,00 yang Pajak Penghasilannya telah dilunasi
tanggal 10 Desember 1994 sebesar 3% x Rp 200.000.000,00 =
Rp 6.000.000,00. Karena kewajiban Pajak Penghasilan Pasal
25 atas penjualan tanah dan bangunan B telah dilunasi
sebelum 1 Januari 1995, walaupun akta penjualan tanah dan
bangunan B kepada C baru dibuat setelah 1 Januari 1995,
maka pembayaran tersebut menggantikan kewajiban pembayaran
Pajak Penghasilan menurut ketentuan Peraturan Pemerintah
ini dan harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
tahun 1994. Dalam hal B belum membayar Pajak Penghasilan
Pasal 25 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
1994, maka diperlakukan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3580

Desember 14, 2008 at 2:08 pm

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1996 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1996
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU
BANGUNAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum dalam pemenuhan kewajiban pelunasan pajak atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 48
Tahun 1994, dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaimana telah diubah dengan Undangundang
Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3566);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor
68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3569);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari
Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 77, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3580);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48
TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN
HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN.
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dan menambah satu ketentuan baru dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994,
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 4
(1) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah sebesar
5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, kecuali pengalihan hak
atas rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak
badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan
Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan.”
2. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 6
Tata cara pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan yang
usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, ditetapkan lebih lanjut oleh
Menteri Keuangan.”
3. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 8
(1) Bagi Wajib Pajak orang pribadi, yayasan atau organisasi yang sejenis, dan Wajib Pajak badan yang usaha
pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila melakukan pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan dalam kegiatan usaha pokoknya, pembayaran Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) bersifat final.
(2) Bagi Wajib Pajak badan lainnya dan bagi Wajib Pajak badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
diluar kegiatan usaha pokoknya, pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
merupakan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang
terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang jumlah penghasilannya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP),
apabila melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang jumlah brutonya kurang dari RP.
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), penghasilan yang diperoleh dari pengalihan tersebut merupakan objek
Pajak Penghasilan, dan Pajak Penghasilan terutang yang bersifat final sebesar 5% (lima persen) dari jumlah
bruto nilai pengalihan, wajib dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dengan Surat Setoran Pajak Final sebelum akhir
tahun pajak yang bersangkutan, kecuali penghasilan yang diperoleh dari pengalihan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (2) huruf c.”
4. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 11 dan Pasal 12 yang dijadikan Pasal 11A, yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 11A
(1) Orang pribadi yang melakukan pengalihan hak tas tanah dan/atau bangunan sebelum 1 Januari 1995 dan belum
melaporkan penghasilan tersebut dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, wajib membayar
Pajak Penghasilan yang terutang:
a. sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; atau
b. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 bagi
yang telah membayar Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1994.
(2) Orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), yang melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan terhitung mulai tanggal 1 Januari 1995, terutang Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima
persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan.
(3) Yayasan atau organisasi yang sejenis yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan terhitung
mulai tanggal 1 Januari 1995, terutang Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai
pengalihan.
(4) Wajib Pajak badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan,
apabila melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam kegiatan usaha pokoknya mulai tanggal
1 Januari 1996 sampai saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, terutang Pajak Penghasilan berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
(5) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), bersifat final.
(6) Orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) serta yayasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) serta Wajib Pajak badan sebagaiamana dimaksud pada ayat (4) yang tidak menyetor Pajak Penghasilan
yang terutang sesuai dengan ketentuan tersebut di atas sampai dengan tanggal 31 Desember 1996, maka atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
tersebut dikenakan pajak berdasarkan tarif umum sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1994, berikut sanksi-sanksinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.”
Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 April 1996
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 April 1996
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1996 NOMOR 44
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1996
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN
PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK
ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
UMUM
Cara pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan
dengan saat penandatanganan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan pengalihan hak oleh notaris atau pejabat yang
berwenang, atau mengaitkannya dengan pembayaran yang dilakukan oleh bendaharawan atau pejabat pemerintah yang
melakukan pembayaran ternyata telah meningkatkan kepatuhan bagi orang pribadi atau badan dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya.
Untuk lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam pemenuhan kewajiban pelunasan atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 48
Tahun 1994 dengan Peraturan Pemerintah.
Pokok-pokok perubahan atau penyempurnaan tersebut antara lain:
a. Pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan merupakan
pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final diberlakukan bagi orang pribadi, yayasan atau organisasi yang
sejenis, dan Wajib Pajak badan sehubungan dengan usaha pokoknya di bidang pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan apabila melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam kegiatan usaha
pokoknya.
b. Orang pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang jumlah bruto nilai pengalihannya
kurang dari Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) tidak diharuskan membayar Pajak Penghasilan saat
penandatanganan akta oleh Pejabat yang berwenang dimaksudkan untuk memberikan keringanan bagi orang
pribadi yang jumlah penghasilannya dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), namun apabila yang
melakukan pengalihan adalah orang pribadi yang memiliki jumlah penghasilan melebihi PTKP maka penghasilan
tersebut terutang Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan dan bersifat final,
dan harus dilunasi oleh Wajib Pajak sendiri sebelum akhir tahun pajak yang bersangkutan. Kewajiban ini tidak
termasuk pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
c. Orang pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang terjadi sebelum 1 Januari 1995
dan belum melaporkan penghasilan tersebut dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun 1994
atau tahun sebelumnyaa, diwajibkan membayar Pajak Penghasilan yang terutang sebesar 5% (lima persen) dari
jumlah bruto nilai pengalihan, atau sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan bagi yang telah
membayar Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1994 dan pelunasan Pajak
Penghasilan tersebut bersifat final.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 4
Ayat (1)
Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi dan badan atau yang dipotong atau dipungut
oleh bendaharawan atau pejabat yang berwenang sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
adalah 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan tersebut.
Bagi Wajib Pajak badan yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, besarnya Pajak
Penghasilan yang wajib dibayar sendiri adalah 2% (dua persen) untuk pengalihan rumah sederhana, rumah sangat
sederhana dan rumah susun sederhana, dan sebesar 5% (lima persen) untuk pengalihan lainnya.
Angka 2
Pasal 6
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 8
Ayat (1) dan ayat (2)
Pembayaran Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak orang pribadi, yayasan atau organisasi yang sejenis, dan Wajib Pajak
badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam kegiatan usaha pokoknya/sebagai barang dagangan adalah bersifat
final. Pembayaran Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan apabila melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diluar kegiatan
usaha pokoknya/bukan sebagai barang dagangan dan bagi Wajib Pajak badan lainnya sebesar 5% (lima persen) adalah
merupakan angsuran Pajak Penghasilan yang terutang dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan
untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Ayat (3)
Orang pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang jumlah bruto nilai pengalihannya
kurang dari Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) tidak diwajibkan melunasi Pajak Penghasilan yang terutang
sebelum penandatanganan akta pengalihan dilakukan. Apabila pengalihan hak tersebut dilakukan oleh orang pribadi
yang penghasilannya melebini Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), maka atas penghasilan dari pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan tersebut terutang Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai
pengalihan yang bersifat final dan harus dilunasi sendiri oleh orang pribadi yang bersangkutan sebelum akhir tahun
pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Final.
Kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) bagi orang pribadi yang penghasilannya melebihi
PTKP tersebut tidak diberlakukan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah guna
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
Angka 4
Pasal 11A
Ayat (1)
Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebelum
tanggal 1 Januari 1995 seharusnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun 1994 atau
sebelumnya dan Pajak Penghasilan yang terutang seharusnya sudah dilunasi.
Untuk memberikan keringanan dan kemudahan bagi orang pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan yang terjadi sebelum tanggal 1 Januari 1995 dan belum melaporkan penghasilan tersebut dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, orang pribadi tersebut diwajibkan membayar sendiri Pajak Penghasilan
yang terutang sebesar:
a. 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; atau
b. 2% (dua persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, bagi yang telah
membayar Pajak Penghasilan Pasal 25 sebesar 3% (tiga persen) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
1994.
Ayat (2) dan ayat (3)
Untuk memberikan keringanan dan kemudahan bagi orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf
b, yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebelum tanggal 1 Januari 1996 dan bagi yayasan atau
organisasi yang sejenis yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan mulai tanggal 1 Januari 1995
diwajibkan untuk menyetorkan Pajak Penghasilan yang terutang sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai
pengalihan.
Ayat 4
Bagi Wajib Pajak badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan,
apabila melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam kegiatan usaha pokoknya/sebagai barang
dagangan mulai tanggal 1 Januari 1995 sampai saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, juga diberi kemudahan berupa
Pajak penghasilan yang terutang atas transaksi pengalihan tersebut sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai
pengalihan atau sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan untuk rumah sederhana, rumah sangat
sederhana dan rumah susun sederhana.
Apabila atas pengalihan dari transaksi pengalihan tersebut telah disetor angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam
Tahun 1996, maka atas setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut dapat diperhitungkan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Bagi orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum melaporkan penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari pengalihan tersebut dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun 1994 atau sebelumnya dan orang pribadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan yayasan atau organisasi sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) serta
Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diwajibkan untuk menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang
terutang sesuai dengan ketentuan tersebut selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 1996.
Apabila sampai dengan batas waktu yang ditentukan tersebut Wajib Pajak belum melunasi Pajak Penghasilan dari
penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku atas
penghasilan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum berikut sanksi administrasi yang berlaku.
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3634

Desember 14, 2008 at 2:00 pm

MENTERI NEGARA AGRARIA KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN PENYELESAIAN MASALAH HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT

MENTERI NEGARA AGRARIA

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

NOMOR 5 TAHUN 1999

TENTANG

PEDOMAN PENYELESAIAN MASALAH HAK ULAYAT MASYARAKAT

HUKUM ADAT

MENTERI NEGARA AGRARIA/

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

Menimbang :

a. bahwa hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat dan yang serupa itu dari

masyarakat hukum adat, sepanjang pada kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksudkan

dalam ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok

Agraria (selanjutnya disebut Undang- Undang Pokok Agraria);

b. bahwa dalam kenyataannya pada waktu ini di banyak daerah masih terdapat tanah-tanah dalam

lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan dan penggunaannya

didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui pleh para warga masyarakat hukum

adat yang bersangkutan sebagai tanah ulayatnya;

c. bahwa akhir-akhir ini di berbagai daerah timbul berbagai masalah mengenai hak ulayat tersebut,

baik mengenai eksistensinya maupun penguasaan tanahnya;

d. bahwa sehubungan dengan itu perlu diberikan pedoman yang dapat digunakan sebagai

pegangan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah-nasalah yang ada dan melaksanakan

urusan pertanahan pada umumnya dalam hubungannya dengan hak ulayat masyarakat hukum

adat tersebut di kemudian hari;

e. bahwa pedomnan tersebut perlu diperiksa dalam bentuk Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepla Badan Pertanahan Nasional,

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Agraria;

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok

Kehutanan;

3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Pertambangan;

4. Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang;

5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1966 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah;

7. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional;

8. Keputusan Presiden Nomor 122/M Tahun 1998 tentang Pembentukan Kabinet

Reformasi Pembangunan;

9. Keputusan Presiden Nomor 101 tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,

Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara;

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN

NASIONAL TENTANG PEDOMAN PENYELESAIAN MASALAH HAK ULAYAT

MASYARAKAT HUKUM ADAT

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam peraturan ini yang dimaksud denagn :

1. Hak ulayat dan yangh serupa itu dari mesyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak

ulayat), adalah kewenagan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakayt hukum adat

tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk

mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi

kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahirian dan batiniah

turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang

bersangjitan.

2. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat

hukum adat tertentu.

3. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya

sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal atauopun atas

dasarr keturunan.

4. Daerah adalah daerah ototnom yang berwenang melaksanakan urusan pertanahan sebagaiman

dimaksud dalam undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

BAB II

PELAKSANAAN PENGUASAAN TANAH ULAYAT

Pasal 2

1. Pelaksanann hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat

hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat stempat.

2. Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apanbila :

a. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukm adatnya sebgai

warga bersama suatau persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerpkan

ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,

b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan

hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan

c. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan dan penggunaan tanah

ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Pasal 3

Pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada pasal 2 tidak dapat lagi

dilakukan terhada bvidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah

sebagaiman dimaksdu Pasal 6 :

a. sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut

Undang-Undang Pokok Agraria;

b. merupakan bidang-bidang tabnah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi

pemerinyag, bahan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku.

Pasal 4

1. Penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanah ulayat sebagiaman dimaksud dalam Pasal

2 oelh perseorangan dan bahan hukum dapat dilakukan :

a. oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut

ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya

dapat didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan Undang-Undang Poko

Agraria.

b. Oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum

adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Pokok

Agraria berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh

masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara

hukum adat yang berlaku.

2. Penglepasan tanah ulayat sebagaiman dimaksud pada ayat 1 huruf b untuk keperluan pertanian

dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat dilakuakn oleh

masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu,

sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi

atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka

penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum

adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai

ketentuan Pasal 2.

3. Dalam hal sebagiamana dimaksud pada ayat 2 Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang diberikan

oleh Negara dan perpanjangan serta pembaharuannya tidak boleh melebihi jangka waktu

penggunaan tanah yang diperoleh dari masyarakat hukum adat yang bersaqngkutan.

BAB III

PENENTUAN MASIH ADANYA HAK ULAYAT DAN PENGATURAN

LEBIH LANJUT MENGENAI TANAH ULAYAT YANG BERSANGKUTAN

Pasal 5

1. Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulaya sebaiamana dimaksud dalam Pasal 2

dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertaka n para pakar hukum adat,

masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat

dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam.

2. Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada sebagimana dimaksud pada

ayat 1 dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda

kartografi dan, apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatny dalam

daftar tanah.

Pasal 6

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 5 diatur dengan Peraturan Daerah yangh

bersatan.

BAN IV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 7

Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

DITETAPKAN DI : JAKARTA

PADA TANGGAL : 24 JUNI 1999

MENTERI NEGARA AGRARIA/

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

HASAN BASRI DURIN

Desember 14, 2008 at 1:55 pm

PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PERSYARATAN PEMILIK RUMAH TEMPAT TINGGAL ATAU HUNIAN OLEH ORANG ASING

PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

NOMOR 7 TAHUN 1996

TENTANG

PERSYARATAN PEMILIK RUMAH TEMPAT TINGGAL ATAU

HUNIAN OLEH ORANG ASING

MENTERI NEGARA AGRARIA/

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

Menimbang:

a. Bahwa dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia perlu menetapkan ketentuan mengenai persyaratan yang harus dipenuhi orang asing yang bermaksud memperoleh rumah tempat tinggal atau hunian di Indonesia serta syarat-syarat lain untuk dapat tetap memiliki rumah tersebut;

b. Bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 ketentuan tersebut di atas perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Mengingat:

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);

3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312), sebagiamana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3569)

4. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317)

5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3469)

6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian ( Lembaran Negara tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3474)

7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1961 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2171)

8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun ( Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3372);

9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1994 tentang Pengawasan Orang Asing dan Tindak Keimigrasian (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3562);

10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk, dan Izin Keimigrasian (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3563)

11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1994 tentang Penghunian Rumah oleh Bukan Pemilik ( Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3576)

12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3580), sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3634);

13. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atau Tanah ( Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3643)

14. Peraturan Pemerintah Republik Indoneisa Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3644)

15. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional;

16. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Kabinet Pembangunan VI;

17. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1994 tentang Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Nasional

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL TENTANG PERSYARATAN PEMILIKKAN RUMAH TEMPAT TINGGAL ATAU HUNIAN OLEH ORANG ASING.

Pasal 1

(1) Orang asing yang kehadirannya di Indonesia memberi manfaat bagi pembangunan nasional dapat memiliki sebuah rumah tempat tinggal atau hunian dalam bentuk rumah dengan hak atas tanah tertentu atau satuan rumah susun yang dibangun di atas tanah Hak Pakai atas tanah Negara.

(2) Orang asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah orang asing yang memiliki dan memelihara kepentingan ekonomi di Indonesia dengan melaksanakan investasi untuk memiliki rumah tempat tinggal atau hunian di Indonesia

Pasal 2

(1) Pemilikkan rumah dan cara perolehan hak atas tanah oleh orang asing dapat dilakukan dengan:

a. Membeli atau membangun rumah di atas tanah dengan Hak Pakai atas tanah Negara atau Hak Pakai atas tanah Hak Milik;

b. Membeli satuan rumah susun yang dibangun di atas tanah Hak Pakai atas tanah Negara;

c. Membeli atau membangun rumah di atas tanah Hak Milik atau Hak Sewa untuk Bangunan atas dasar perjanjian tertulis dengan pemilik hak atas tanah yang bersangkutan.

(2) Rumah yang dapat dibangun atau dibeli dan satuan rumah susun yang dapat dibeli oleh orang asing dengan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah rumah atau satuan rumah susun yang tidak termasuk klasifikasi rumah sederhana atau rumah sangat sederhana.

(3) Perolehan hak atas tanah dan/atau rumah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik, dan pemberian Hak Sewa untuk Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk perbuatan hukum yang bersangkutan.

Pasal 3

Selama tidak dipergunakan oleh pemiliknya rumah tersebut dapat disewakan melalui perusahaan di Indonesia berdasarkan perjanjian antara orang asing pemilik rumah dengan perusahaan tersebut.

Pasal 4

Orang asing yang telah memiliki rumah di Indonesia tidak lagi memenuhi syarat berkedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 apabila yang bersangkutan atau keluarganya tidak menggunakan rumah tersebut selama jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.

Pasal 5

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 7 Oktober 1996

MENTERI NEGARA AGRARIA/

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

Ttd,

(Ir. Soni Harsono)

Desember 14, 2008 at 1:53 pm

Older Posts


Call me

April 2024
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930